Indonesia Lawyers Club (ILC) TVONE
#ILCHibahBuatKonglomerat
Selasa, 28 Juli 2020
PROGRAM ORGANISASI PENGGERAK (POP)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN,
MAU DIBAWA KE MANA?
Oleh Hamdani
Di tengah kesemrawutan pemilihan teknik pembelajaran saat ini, akibat terdampak Coronavirus - Covid-19, meninggalkan polemik yang berkepanjangan yang belum ada ujung penyelesaiannya. Terkait dengan terobosan yang dilakukan Kementerian Pendidikandan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengambil langkah cepat mengatasi permasalahan pembelajaran pada jenjang sekolah dan perkuliahan, masih menemukan jalan berliku dan penuh tantangan.
Di satu sisi, kita semua berharap pendidikan semakin maju dan berkualitas. Namun di sisi lain, kesiapan kita belum dapat menjangkau harapan dan cita-cita yang setinggi langit. "Maju mundur kena", itulah yang sedang dialami oleh pembuat kebijakan di dunia pendidikan kita. Sementara, masyarakat umum tampaknya lebih memilih berargumen negatif daripada mengikuti langkah para pembuat kebijakan dan para cendekia yang berada di ranah pendidikan.
Bagaimana tidak kekisruhan terus terjadi? Keseimbangan biaya pendidikan dengan kebutuhan ekonomi rumah tangga yang diaduk dalam satu periuk, lalu dihidangkan di tengah keluarga. Apa mungkin kita dapat memisahkan beberapa kebutuhan semudah meng-klik antara kebutuhan rumah tangga, pendidikan, bahkan kesehatan yang bersifat urgen? Sementara, kecukupan ekonomi rata-rata rakyat Indonesia saat ini masih terbilang rendah.
Kesulitan ini tentunya sangat dirasakan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Berbagai cerita pilu dan menyedihkan mewarnai laman media social, media cetak, dan media elektronik. Masih banyak masyarakat Indonesia di pelosok tanah air yang masih belum menguasai teknologi. Sehingga tidak dapat dipaksakan untuk segera memasuki dunia digital secara instan. Masih perlu dilakukan pembinaan dan dukungan baik materil dan spiritual.
Masihkah ada celah dan ruang di dunia pendidikan agar proses pembelajaran berjalan lancar dan menyenangkan?
Banyak kalangan yang pro dan kontra sehingga memancing isyu positive dan negatif tanpa pula memberikan langkah penyelesaian yang rasionalitas. Protes bermunculan dari segala penjuru. Seperti anak panah yang sedang berbalik arah, Nadiem Makarim dibuat terpojok. Seorang muda cerdas dan kreatif, mengalami serangan balik atas sengitnya medan yang sedang diperjuangkannya. Terakhir, ia mendapat tantangan dari Organisasi Muhammadiah, NU, dan PGRI yang mundur dari kemendikbud. Ketiga organisasi ini memprotes Nadiem Makarim yang dianggap meremehkan Dan memberikan hibah kepada konglomerat Tanoto dan Sampoerna Foundation.
Ketua NU, K.H. Marsudi Suhud dengan tegas pula menyebut Nadiem Makarim tidak menghargai keberadaan NU. Namun, Setelah muncul kegaduhan, alih-alih, Nadiem Makarim mengatakan bahwa kedua konglomerat itu tidak akan menggunakan dana APBN untuk menjalankan Program Organisasi Penggerak (POP).
Dikutip dari Kompas.com-23/07/2020 17.55 WIB, diketahui Kemendikbud akan melibatkan organisasi-organisasi masyarakat maupun individu yang mempunyai kapasitas untuk meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan. Kemendikbud mengalokasikan anggaran Rp 567 miliar per tahun untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih. Organisasi yang terpilih dibagi kategori III yakni Gajah, Macan, dan Kijang. Untuk Gajah dialokasikan anggaran sebesar maksimal Rp20 miliar/tahun, Macan Rp5 miliar per tahun, dan Kijang Rp1 miliar per tahun.
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE.,. seorang akademisi Muslim yang dikenal sebagai cendekiawan muslim, menyayangkan program kemendikbud ini. Ia menganggap program ini tidak tepat di tengah kekisruhan dan krisis pembelajaran di tanah air. Lalu, Nadiem dianggapnya tidak berpikir menyelamatkan pendidikan yang terdampak pandemic, jija gal bagi-bagi dana segar APBN ini terus digulirkan. Menurutnya, apakah institusi atau organisasi yang lulus seleksi penerima dana POP itu adalah organisasi yang memiliki pengalaman di bidang pendidikan. Namun sebaliknya, ia melihat organisasi penggerak yang dimaksud tidak memiliki kredibilitas tentang pendidikan. Okeh Karena itu, ia berharap jika dana ini masih ada, dialihkan Sana untuk stimulus pendidikan sampai ke pendidikan tinggi yang turut terdampak pandemic.
Huzaifah Dadang mewakili Ketua PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd. dalam kesempatan telekonferensi di acara ILC meminta program POP diundur dan dananya dialihkan untuk tujuan-tujuan pendidikan yang sedang mengalami krisis seperti saat ini. Menurutnya, PGRI telah lebih dahulu menjalankan program-program yang menggerakkan dan memajukan pendidikan.
Retno Sulistyani, komisioner KPAI bidang pendidikan juga berpikiran sama meminta program POP ini dibatalkan saja dan dialihkan untuk membantu dana Pembelajaran Jarak Jauh dalam jaringan (daring). Ia melihat, walaupun pembelajaran dalam jaringan bukan suatu keharusan, namun guru-guru lebih memilihnya agar tidak berjalan sendiri.
Pengamat pendidikan Indra Charismidiaji melihat sejak sepuluh bulan menjabat, Mas Nadiem justru memunculkan kegaduhan-kegaduhan di tengah masyarakat. Program-program PJJ adalah refleksi kondisi di dunia nyata. Ia mengilustrasikan tentang perjalanan menggunakan gojek, berawal dari mana titik jemputnya dan ke mana tujuannya? Atau sebaliknya, kita saat ini sedang nyasar ke mana-mana. Program Kemendikbud dilihatnya berjalan sepotong-sepotong dan tidak terarah.
Menurut Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, dari semula ia sudah keberatan dengan pengangkatan Nadiem Makarim sebagai Mendikbud. Ia menyebut Nadiem tidak membawa konsep untuk menjadi menteri. Program yang dijalankannya hanyalah
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE.,. seorang akademisi Muslim yang dikenal sebagai cendekiawan muslim, menyayangkan program kemendikbud ini. Ia menganggap program ini tidak tepat di tengah kekisruhan dan krisis pembelajaran di tanah air. Lalu, Nadiem dianggapnya tidak berpikir menyelamatkan pendidikan yang terdampak pandemic, jija gal bagi-bagi dana segar APBN ini terus digulirkan. Menurutnya, apakah institusi atau organisasi yang lulus seleksi penerima dana POP itu adalah organisasi yang memiliki pengalaman di bidang pendidikan. Namun sebaliknya, ia melihat organisasi penggerak yang dimaksud tidak memiliki kredibilitas tentang pendidikan. Okeh Karena itu, ia berharap jika dana ini masih ada, dialihkan Sana untuk stimulus pendidikan sampai ke pendidikan tinggi yang turut terdampak pandemic.
Huzaifah Dadang mewakili Ketua PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd. dalam kesempatan telekonferensi di acara ILC meminta program POP diundur dan dananya dialihkan untuk tujuan-tujuan pendidikan yang sedang mengalami krisis seperti saat ini. Menurutnya, PGRI telah lebih dahulu menjalankan program-program yang menggerakkan dan memajukan pendidikan.
Retno Sulistyani, komisioner KPAI bidang pendidikan juga berpikiran sama meminta program POP ini dibatalkan saja dan dialihkan untuk membantu dana Pembelajaran Jarak Jauh dalam jaringan (daring). Ia melihat, walaupun pembelajaran dalam jaringan bukan suatu keharusan, namun guru-guru lebih memilihnya agar tidak berjalan sendiri.
Pengamat pendidikan Indra Charismidiaji melihat sejak sepuluh bulan menjabat, Mas Nadiem justru memunculkan kegaduhan-kegaduhan di tengah masyarakat. Program-program PJJ adalah refleksi kondisi di dunia nyata. Ia mengilustrasikan tentang perjalanan menggunakan gojek, berawal dari mana titik jemputnya dan ke mana tujuannya? Atau sebaliknya, kita saat ini sedang nyasar ke mana-mana. Program Kemendikbud dilihatnya berjalan sepotong-sepotong dan tidak terarah.
Menurut Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, dari semula ia sudah keberatan dengan pengangkatan Nadiem Makarim sebagai Mendikbud. Ia menyebut Nadiem tidak membawa konsep untuk menjadi menteri. Program yang dijalankannya hanyalah
Ia melihat Program POP ini cacat dari lahir. Seleksi organisasi yang dimaksud mestinya dilakukan sosialisasi, bukan penunjukan langsung. Ia menyarankan, dana POP ini sebaiknya dialokasikan untuk pembinaan sekolah-sekolah swasta di daerah-daerah dan untuk pembinaandan peningkatan tenaga guru mestinya ini tidak dilakukan penunjukan
Lagi-lagi Fachri Ali, Pengamat Sosial Politik menunjukkan pandangan negatifnya kepada Nadiem Makarim. Sambil bercerita tentang silsilah sosok Nadiem Makarim, yang ayahnya adalah seorang aktivis dan pengacara terkemuka, menyebutkan Nadiem telah melakukan kesalahan yang fundamental. Ia mengatakan bahwa Nadiem tidak mengenal Indonesia. Ia juga mengatakan bahwa Nadiem tidak mengenal realitas Indonesia. Di luar itu, Fachri Ali mengagumi sosok Nadiem Muda yang cerdas. Kesalahan ini tidak terletak pada kemampuannya dalam berkarir. Terbukti ia tercatat sebagai seorang pebisnis yang sukses hingga namanya kesohor hingga ke taraf Internasional.
Andreas Hugo Parera Anggota Komisi X DPR-RI, berpendapat lain dengan menyebutkan keterlibatan organisasi baru ini yang bernuansa bisnis perlu dilibatkan dalam dunia pendidikan. Ia melihat polemik yang terjadi bisa berpotensi timbulnya permasalahan publik. Ia pun merasa kasihan kepada Nadiem, karena tuga menjadi menteri pendidikan menurutnya bukanlah mudah. Apa lagi di tengah pandemi yang berkepanjangan ini.
Sebaliknya, Syaiful Huda Ketua Komisi X DPR-RI, mengatakan POP ini semulanya akan dijalankan pada masa normal. Ke depannya, Komisi X akan mendiskusikan kembali apakah program ini akan dilanjutkan atau sebaliknya. Sebelumnya, ia sudah membayangkan pelaksanaan program ini akan terjadi gate. Menyangkut solusi yang akan dilakukan, komisi X meminta Kemendikbud untuk menata ulang program POP ini. Hal yang mengejutkan, ia menjelaskan tentang pendanaan POP yang menggunakan skema APBN seratus persen. Ini sangat berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Nadiem Makarim yang mengatakan Tanoto dan Sampoerna Foudation tidak akan menggunakan dana APBN.
Saleh Partaonan Daulay Anggota DPP-PAN yang mewakili Muhammadiyah menunjukkan penyesalannya terhadap seleksi penerima dana POP. Muhammadiyah dipandang hanya sebelah mata, sangat melukai hati. Ungkapan Mas Menteri terkait pendanaan POP menggunakan tiga skema dianggapnya sebagai sebuah pembohongan karena berbeda dengan yang diungkapkan oleh Komisi X DPR. Ia juga tidak melihat adanya inovasi dari Kemendikbud. Sebaliknya, masih banyak pendidikan di daerah-daerah yang minim sarana dan prasarana pendidikan. Nadiem yang dalam programnya lebih banyak berkaca pada pendidikan luar negeri, sangat bertolak belakang dengan kultur Indonesia. Menurutnya “Indonesia is Indonesia”. Ia tidak melihat inovasi dan terobosan yang dilakukan Kemendikbud. Bahkan Merdeka Belajar yang digadang-gadangkan adalah program yang sudah berjalan sebelumnya.
Menurut Mardani Ali Sera, Anggota DPP- Fraksi PKS, pendidikan adalah hal yang sangat penting. Tapi ia tidak melihat adanya perubahan kualitas pendidikan Indonesia. Rencana Nadiem untuk memperbaiki pendidikan tidak mungkin dapat dilakukannya sendiri. Atas kekisruhan yang terjadi, Nadiem mestinya melakukan silatuhim dan bermusyawarah dengan banyak komponen masyarakat.
Terakhir, Praptono Direktur GTK Dikmen Diksus Kemendikbud sekaligus Direktur POP meralat terkait beberapa hal. Salah satunya, dana POP yang semula dianggarkan 595 Milliar hanya 283,3 Milliar. Dalam paparannya yang lebih banyak berbicara tentang teknis. Tampaknya belum akan memberi keteduhan berpikir. Sehingga lagi-lagi memunculkan kehebohan di tengah-tengah forum ILC. Apa yang sebenarnya diharapkan oleh para finalis seperti belum dapat terjawab. Namun, ini tentunya menjadi harapan besar kita semua bagi kemajuan pendidikan Indonesia. Terlepas dari sentimentil dan egoisme. Karena pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan tidak mungkin dapat diselesaikan oleh seorang pemikir saja.
Lagi-lagi Fachri Ali, Pengamat Sosial Politik menunjukkan pandangan negatifnya kepada Nadiem Makarim. Sambil bercerita tentang silsilah sosok Nadiem Makarim, yang ayahnya adalah seorang aktivis dan pengacara terkemuka, menyebutkan Nadiem telah melakukan kesalahan yang fundamental. Ia mengatakan bahwa Nadiem tidak mengenal Indonesia. Ia juga mengatakan bahwa Nadiem tidak mengenal realitas Indonesia. Di luar itu, Fachri Ali mengagumi sosok Nadiem Muda yang cerdas. Kesalahan ini tidak terletak pada kemampuannya dalam berkarir. Terbukti ia tercatat sebagai seorang pebisnis yang sukses hingga namanya kesohor hingga ke taraf Internasional.
Andreas Hugo Parera Anggota Komisi X DPR-RI, berpendapat lain dengan menyebutkan keterlibatan organisasi baru ini yang bernuansa bisnis perlu dilibatkan dalam dunia pendidikan. Ia melihat polemik yang terjadi bisa berpotensi timbulnya permasalahan publik. Ia pun merasa kasihan kepada Nadiem, karena tuga menjadi menteri pendidikan menurutnya bukanlah mudah. Apa lagi di tengah pandemi yang berkepanjangan ini.
Sebaliknya, Syaiful Huda Ketua Komisi X DPR-RI, mengatakan POP ini semulanya akan dijalankan pada masa normal. Ke depannya, Komisi X akan mendiskusikan kembali apakah program ini akan dilanjutkan atau sebaliknya. Sebelumnya, ia sudah membayangkan pelaksanaan program ini akan terjadi gate. Menyangkut solusi yang akan dilakukan, komisi X meminta Kemendikbud untuk menata ulang program POP ini. Hal yang mengejutkan, ia menjelaskan tentang pendanaan POP yang menggunakan skema APBN seratus persen. Ini sangat berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Nadiem Makarim yang mengatakan Tanoto dan Sampoerna Foudation tidak akan menggunakan dana APBN.
Saleh Partaonan Daulay Anggota DPP-PAN yang mewakili Muhammadiyah menunjukkan penyesalannya terhadap seleksi penerima dana POP. Muhammadiyah dipandang hanya sebelah mata, sangat melukai hati. Ungkapan Mas Menteri terkait pendanaan POP menggunakan tiga skema dianggapnya sebagai sebuah pembohongan karena berbeda dengan yang diungkapkan oleh Komisi X DPR. Ia juga tidak melihat adanya inovasi dari Kemendikbud. Sebaliknya, masih banyak pendidikan di daerah-daerah yang minim sarana dan prasarana pendidikan. Nadiem yang dalam programnya lebih banyak berkaca pada pendidikan luar negeri, sangat bertolak belakang dengan kultur Indonesia. Menurutnya “Indonesia is Indonesia”. Ia tidak melihat inovasi dan terobosan yang dilakukan Kemendikbud. Bahkan Merdeka Belajar yang digadang-gadangkan adalah program yang sudah berjalan sebelumnya.
Menurut Mardani Ali Sera, Anggota DPP- Fraksi PKS, pendidikan adalah hal yang sangat penting. Tapi ia tidak melihat adanya perubahan kualitas pendidikan Indonesia. Rencana Nadiem untuk memperbaiki pendidikan tidak mungkin dapat dilakukannya sendiri. Atas kekisruhan yang terjadi, Nadiem mestinya melakukan silatuhim dan bermusyawarah dengan banyak komponen masyarakat.
Terakhir, Praptono Direktur GTK Dikmen Diksus Kemendikbud sekaligus Direktur POP meralat terkait beberapa hal. Salah satunya, dana POP yang semula dianggarkan 595 Milliar hanya 283,3 Milliar. Dalam paparannya yang lebih banyak berbicara tentang teknis. Tampaknya belum akan memberi keteduhan berpikir. Sehingga lagi-lagi memunculkan kehebohan di tengah-tengah forum ILC. Apa yang sebenarnya diharapkan oleh para finalis seperti belum dapat terjawab. Namun, ini tentunya menjadi harapan besar kita semua bagi kemajuan pendidikan Indonesia. Terlepas dari sentimentil dan egoisme. Karena pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan tidak mungkin dapat diselesaikan oleh seorang pemikir saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar