Selasa, 27 Oktober 2020

PLIN PLAN

Saat ulangan Bahasa Indonesia Plin dan Plan saling menyontek. 

Plin : (berbisik pada teman di sebelahnya) "Plan, nomor 8 jawabannya apa?"

Plan : "Aku jawab B. Kamu pilih apa, Plin?"

Plin : "Kalau aku pilih C."

Sambil mikir sejenak, Plin dan Plan membaca ulang soalnya. Namun karena merasa kalah pintar dibanding Plan, si Plin langsung mengganti jawabannya.

Plin : "Udah, B ajalah."

Saat bersamaan, Plan merasa jawaban Plin yang pertama yang benar. Ia mau mengganti jawabannya ke C, tapi tiba-tiba waktu habis. Ia jadi mengurungkan niatnya itu dan segera mengumpulkan lembar jawaban ke meja guru. Alhasil, setelah dikoreksi oleh guru ternyata jawabannya adalah C.

Plin : (mendumel dan kesal) "Ah, kamu ini gimana, Plan? Gara-gara ikut kamu aku jadi salah."

Plan : "Siapa suruh ikut aku?"

Diam-diam si Plan juga menyesal karena tidak jadi mengganti jawabannya ke C.

INDRA PERASA DAN PENJILAT

 INDRA PERASA DAN PENJILAT


PENJILAT  : Kita berteman, please! 

PERASA    : Ogah, kamu penjilat. Kutahu dari banyak mulut bahwa penjilat itu tidak baik. 

PENJILAT : Lalu, apa hebatnya kamu tanpa aku?

PERASA   : Aku bisa merasakan pahit dan manis. Lalu mereka memujiku. Katanya  rasa tak pernah bohong. Beda dengan kamu, menjilat tapi penuh kepalsuan.

PENJILAT : Asal kamu tahu, setelah aku menjilat baru kamu bisa merasakan.

PERASA   : Oh, beda, dong. Yang kamu sebut itu si Pencicip. Dia temanku. Dalam jamuan makan, banyak orang yang mempersilahkannya untuk mencicipi hidangan. Lalu akulah yang menikmati cita rasanya. Hmm, belum pernah ada tawaran menjilat hidangan. 

PENJILAT : (????) Kamu Perasa, gak pernah mikir. Apa-apa masalah dibawa ke dalam perasaan. Lalu sedih dan membawa diri. Mana bisa maju kamu? 

PERASA   : Lho, itu bukan aku. Itu perajuk namanya. Hehe... Memang, penjilat bisa maju? 

PENJILAT :  Bisa,dong! Ini… (menjulurkan lidahnya).

PERASA     :  Dasar kamu Penjilat.

Rabu, 07 Oktober 2020

GELAPNYA JALAN KE SURAU KAMI

 GELAPNYA JALAN KE SURAU KAMI

 

PELAYAT

 

"Ini acara apa?" Pak Hamid bertanya dalam kerumunan wajah yang penuh kebingungan. 

"Hamid meninggal. Dia mati karena serangan jantung," seseorang yang duduk di samping Tuan Hamid membisikkan itu di telinganya.

 "Oo.., Innalillah, ya, Allah, aku lupa," serunya.

Tuan Hamid merasa mulai pikun. Dia baru sadar jika dini hari tadi mendengar pengumuman melalui corong pengeras suara di surau. Hamid telah menghembuskan nafanya yang terakhir. Ia mati mendadak di rumahnya. Teringat pula olehnya sebelum ini,  orang yang memiliki nama yang sama dengannya itu, banyak menyantap kari kambing pada acara kenduri tetangganya. Tuan Hamid pun sempat berada di tempat jamuan itu dan ikut memanjakan seleranya. “Uhh.., memang sedap.” Semua orang pun berdecak kagum setelah menyantap masakan kampung melayu yang satu ini.

Kala itu, Tuan Hamid sempat melarang Hamid. Tapi Hamid tetap ungkal. Dia keras kepala. Soal makan, dia memang  tak dapat mengerem seleranya. Pantang melihat hidangan masakan kampung yang lezat. Pasti jakunnya naik turun dan air liurnya berteteran jatuh. Jika tidak malu,  apa saja makanan di hadapannya bakal lesap pelan-pelan dimakannya. Hati Tuan Hamid sempat berdetak akan terjadi sesuatu pada si Hamid saat itu. Ternyata benar, dia mati juga akhirnya.  

Hamid memang ceroboh. Dia sudah beberapa kali dinasehati oleh dokter untuk tetap mengatur pola  makannya. Tapi dia tak perduli. Dia yang menempah penyakit.  Sekarang dia menanggung padahnya akibat tak dapat menahan selera.

 “Hmm.., sekarang tamatlah sudah riwayatmu,” kata Tuan Hamid menggerutu sendiri.

Beberapa riwayat sakit yang diidap oleh si Hamid seperti sakit jantung dan sesak napas, mengharuskannya untuk mengatur dan menahan seleranya. Tapi dia tak dapat menahan air liurnya ketika mencium bau harum kari kambing yang dimasak pada acara kenduri semalam.  Padahal banyak orang telah memperingatkan bahaya makan daging kambing padanya. Terlihat pula kala itu, si Hamid seperti orang yang meninggalkan perangai. Dia selalu membuat perhatian orang-orang menjadi tertumpu padanya. Perilakunya sedikit aneh dan sempat membuat banyak orang tertawa geli. Tapi tak ada yang menyangka bahwa itu adalah hari pertemuan terakhir mereka dengan si Hamid.

Sebelumnya, hati kecil Tuan Hamid sudah melarang si Hamid dari menyantap makanan itu. Tapi apalah daya, ini terlalu lezat untuk ditolak. Tuan Hamid sendiri tak dapat menahan godaannya. Dalam perasaannya, dia akan sangat menyesal jika tidak menyantapnya. Dia takut kempunan. Kata orang kalau kempunan bisa bahaya juga. Makanya dia ikut-ikutan untuk menyemangati si Hamid agar makan sepuasnya. Hmm, sudah nasib si Hamid meninggal. Mungkin ini hanya asbab saja. Umur seseorang sudah ada yang menentukan. Tak perlu berdebat.

Tentang si Hamid, Tuan Hamid sudah mengenalnya seperti mengenali dirinya sendiri. Usianya tidaklah terlalu tua. Namun rambutnya sudah memutih penuh uban. Menurut Tuan Hamid, si Hamid seharusnya tak buru-buru mati.  Anak-anaknya masih kecil dan sangat membutuhkan kasih sayangnya. Tak terbayang beratnya kehidupan istrinya nanti menanggung beban membesarkan anak-anak mereka. Dengan apa ia akan meneruskan cita-cita si Hamid yang ingin anak-anaknya menjadi orang sukses? Tampaknya, cita-cita dan harapan si Hamid akan terkandas di tengah jalan.

“Kasihan sekali kau, Hamid?” lirihnya.

Jiwa si Hamid benar-benar terekam dalam pikiran Tuan Hamid. Ia terbawa mayat si Hamid. Kematiannya merasuk sampai ke dalam raganya. Dia dia terus terkenangkan si Hamid. Sampai-sampai, pengalaman mati yang sangat menakutkan sebagaimana yang dialami oleh si Hamid, sangat dirasakan pula olehnya.

Ada kengerian yang dia rasakan sehingga tubuhnya serasa dikuliti hidup-hidup. Ini sakit sekali dan tak  pernah dialami sebelum ini. Tulang-tulang dan persendiannya tertarik, meregang, dan lepas dari engselnya. Sungguh sakit tak terperi. Begitu pula rasa haus yang datang menyerang. Serasa ingin dia meneguk air sepenuh lautan, tapi tetap belum bisa menghilangkan dahaganya. Ooh.., tobat.. Sungguh berat dan tak tertahankan. 

Kini, setelah si Hamid menutup usia dalam hembusan napas terakhir, Tuan Hamid baru bisa bernafas lega. Sakit menahan sakaratul maut yang dirasakannya  sebagaimana yang dialami oleh si Hamid, sudah pula hilang. Tulang dan sendi-sendinya kini mulai terasa menyatu kembali. Haus pun sudah tidak ada lagi.   Uhh.., tobat. Tak sanggup rasanya bagi Tuan Hamid melewati mati yang kedua kalinya nanti. Cukuplah sekali ini saja. Atau, jika boleh meminta, Tuan Hamid  pun tak ingin menjadi manusia. Biarlah menjadi daun atau batu saja. Agar dirinya takkan pernah merasakan penderitaan atau kesakitan walau sedikit pun.   

Kematian memang sangat mengerikan. Ia teramat pasti takkan dan tak ada yang sanggup menahannya. Tapi, mengapa banyak orang yang nekat memilih menjadi manusia saat perjanjian dengan Tuhannya?

Dasar!!! Manusia memang makhluk yang sulit untuk dimengerti. Akal sudah diberi, nafsu juga diberi, namun selalu saja akalnya dapat dikalahkan oleh nafsu. Mudah melanggar dan mengatakan khilaf. Lalu  menyesal, tapi mengulangi kembali kesalahannya. Begitu terus tanpa henti-hentinya sampai ajal datang menjemputnya.  

Lihatlah! Berapa banyak orang yang mati penasaran. Padahal sejuta angan dan keinginan belum dapat direalisasikannya. Semua harta dunia yang terkumpul akan tinggal dan tak satupun dapat menjadi bekal. Kecuali hanya bila ada amalan baik yang  dapat dibawa mati. Ia kelak akan menjadi penolong saat malaikat dalam kubur menanyainya.  

Kesadaran Tuan Hamid timbul tenggelam. Di rumahnya sangat ramai dengan orang-orang. Tak terkecuali kenalan, kerabat, dan handai taulan. Entah sedang ada perhelatan apa dan siapa yang mengundang mereka untuk datang ke rumahnya. Mereka duduk dan berdiri sesukanya tanpa ada penyambutan. Tidak ada kursi-kursi di dalam tenda agar mereka bisa menikmati perhelatan. Yang ada hanya wajah-wajah duka dan penuh kecemasan. Sebagian mereka bahkan berpakaian serba hitam.

Dalam kegelisahannya, Tuan Hamid lupa sesuatu. Di mana istrinya? Di mana anak-anaknya? Di mana keluarganya semua? Dia mencari mereka. Dia pun melewati kerumunan orang-orang yang berada di sana tanpa sedikit pun ingin menyapa. Selain merasa risih, dia pun ingin sekali marah melihat orang-orang yang menjadi tamu tak diundang ini.

Di ruang tamu rumahnya, Tuan Hamid mendapati istri dan anak-anaknya sedang duduk bersimpuh saling berhadapan. Mereka sedang meratapi sesosok jasad mati yang terbaring di tengah-tengah mereka. Tuan Hamid mendekati demi hendak melerai kesedihan yang dialami oleh keluarganya. Ditatapinya wajah memelas sang istri, begitu pula dengan anak-anaknya yang sangat dikasihnya itu.

Tampak jelas kedukaan yang amat besar ditanggung oleh orang seisi rumahnya. Meratapi jasad kaku tak bernyawa di tengah-tengah mereka. Dia tak lain adalah si Hamid. Sebuah nama yang sangat dekat di telinga dan tak terpisahkan di dalam keluarganya. Bagaimana mungkin mereka dapat mengabaikan nama yang sangat berarti dalam kehidupan mereka selama ini, jika itu adalah nama sang ayah dari anak-anak dan suami dari seorang istri tercinta?  

Namun si Hamid bukanlah Tuan Hamid. Mengapa seisi rumahnya meratapi mayat orang asing tanpa pertalian keluarga itu? Ada apa ini? Tuan Hamid terus berpikir dalam kebingungan. Tubuh kurus yang  terbujur kaku  dengan berselimut kain panjang, begitu pentingkah orang itu bagi mereka?

“Apakah mereka mengira itu adalah aku?” tanya Pak Hamid dalam hatinya.

Sangat jelas terlihat olehnya, dorongan kasih dan sayang yang ditunjukkan oleh keluarga kepada si Hamid. Bahkan kehadirannya di tengah-tengah mereka seperti sudah tidak penting lagi. Kecewa benar Tuan Hamid mengenangkan hal itu. Terbersit rasa cemburu yang tak terungkap di hatinya. Ingin saja ia berteriak sekerasnya agar anak dan istrinya bisa membedakan antara dirinya dengan orang asing itu. Tapi berat dan rasanya tak tega ia melakukan itu.

Dalam kegerahan, Tuan Hamid mendekati mayat si Hamid, lalu dibukanya kain cadar yang menutupi wajah lesu itu. Kasihan kau, Hamid. Tuan Hamid berseru dalam hati. Tak lupa pula ditatapnya dalam-dalam guratan wajah gusar yang menempel di pipi mayat si Hamid itu.  

“Begitu cepat kau pergi meninggalkan dunia ini,” serunya lagi. “Kau tahu, betapa anak-anak dan istrimu masih sangat memerlukanmu? Tapi kau sengaja menempah penyakit, hingga ajal menjemputmu.”

Tuan Hamid tak sedikit pun terlihat sedih atas kematian si Hamid. Namun bukan karena  dia tak punya hati. Ia ingin mengisyaratkan pada keluarganya untuk tidak meratapi kematian yang sudah pasti.   Ini hanyalah sebuah perjalanan hidup. Pertemuan atau perpisahan sudah menjadi sunnatullah. Takkan ada siapa yang mampu menangguhkan atau memajukannya.  

“Sudahlah, tak perlu ditangisi.  Orang yang sudah mati tak akan hidup kembali,” kata Pak Hamid menenangkan keluarganya. 

Namun keluarganya masih saja larut. Mereka bahkan tak menghiraukan kata-kata Tuan Hamid.

“Ah, sudahlah. aku tak ingin melayani kesedihan mereka. Ini hanyalah sebatas kenangan kecil yang menempel di pikiran mereka. Tak akan lama, akhirnya mereka pasti akan terbiasa dan melupakan semua yang terjadi. Sebaiknya aku beranjak saja dari sini,” pikir Tuan Hamid tidak mau pusing dengan segala yang terjadi.

Kesadaran Tuan Hamid kembali timbul tenggelam. Dia merasa ada sesuatu yang terlepas dari ingatannya. Keraguannya muncul tiba-tiba. Dia bahkan tak percaya pada dirinya sendiri. Siapa dirinya ini? Dan siapa pula si Hamid itu? Apakah si Hamid itu adalah dirinya sendiri?  Ia menampar-nampar pipinya demi meyakinkan kalau dirinya tidak sedang bermimpi. “Aduh, sakit!” pekiknya. Ia mengerang kesakitan menahan tamparan keras tangannya sendiri.  

“Tidak.., aku tidak bermimpi. Aku tidak mati, aku masih hidup,” serunya meracau sendirian. 

Tuan Hamid akhirnya beranjak dari situ. Jam begini, sebagaimana biasa, ia sudah berada di kebunnya. Namun ia bukan pekebun sungguhan. Ia berkebun demi mengisi waktu luangnya saja. Pekerjaannya sebagai guru mengaji di kampung, memang memiliki banyak waktu untuk melakukan hal apa saja di siang hari. Tanamannya terlihat kerdil dan tidak terurus. Tidak seperti pekebun lainnya, yang memang menggantungkan usaha mereka dengan bercocok tanam.

Tuan Hamid keluar melewati kerumunan orang-orang yang berada di luar rumah. Mereka terlihat masih setia menunggu sambil terus berbincang-bincang. Terdengar pula di telinga Tuan Hamid saat mereka membicarakan si Hamid. Kata mereka, si Hamid orang baik. Dia taat beribadah. Mereka menyebut juga bahwa si Hamid sebagai orang yang tegas dan berwibawa.

Tuan Hamid hanya mengerutkan dahi mendengarkannya. Tentang pribadi si Hamid, tampaknya Tuan Hamid jauh lebih tahu. Orang-orang hanya melihat dari sisi luarnya saja. Si Hamid memang kelihatan baik. Tapi keburukan si Hamid, mereka tak pernah mengetahuinya.   

Tidak sekadar membicarakan tentang si Hamid, kali ini mereka juga membicarakan tentang istri dan anak-anak Hamid. Kata mereka, kasihan anak-anak si Hamid sudah menjadi yatim dan istrinya kini menjadi janda. 

Perkara si Hamid benar-benar membuat Tuan Hamid bingung. Bagaimana bisa orang itu hadir dan tak luput dalam pikirannya? Ia dapat merasakan setiap kejadian yang dialami oleh si Hamid. Tidak saja dia memiliki banyak persamaan dalam tingkah laku, sifat dan  wajah mereka juga sangat mirip. Anehnya lagi, Tuan Hamid bisa juga merasakan denyut nadi si Hamid yang terhenti.

“Sudahlah, aku tak perlu pusing, yang pasti aku bukan si Hamid. Aku belum mati. Aku masih hidup,” tukasnya, “

Saat Tuan Hamid melintas di tengah-tengah mereka, tak seorang pun yang melirik ke arahnya. Mereka membuang pandangan bahkan menunjukkan sikap aneh seperti tak pernah mengenalinya. Tuan Hamid benar-benar merasakan asing saat berada di rumahnya sendiri.

- - - - -

 

Tuan Hamid meluncur ke kebun di balik bukit  di belakang rumahnya.  Dia tak peduli lagi dengan kesibukan orang-orang yang berada di rumahya. Untuk apa memikirkan mereka. Toh, mereka pun berbuat sama tidak memikirkannya.

Dari jauh, saat Tuan Hamid tiba di kebunnya,  dia tercengang. Dia mendapati tanamannya telah layu. Daun-daun hijau kini berubah menjadi kuning.

"Astaga.., apa yang terjadi ini? Mengapa dengan tanamanku? tukasnya keheranan.

Seseorang muncul dari balik kebun dan terkejut bukan kepalang melihat sosok Tuan Hamid berada di tengah-tengah kebun. Orang itu pun tak henti beristighfar. Dengan gelagapan, dia terus berseru menyebut nama Tuan Hamid berulang-ulang. Lalu entah apa yang diucapkannya, Tuan Hamid tak lagi bisa mendengarnya. Suara orang itu berat dan parau. Ia terlihat sangat ketakutan, lalu lari dengan terbirit-birit pulang ke rumahnya.

Ada apa lagi ini? Semuanya terjadi begitu aneh. Orang-orang asing selalu hadir dalam hidupnya secara tiba-tiba. Mereka itu sosok-sosok yang tak biasa dan penuh misteri. Wajah-wajah pucat yang penuh kecemasan dan ketakutan tampil di hadapannya. 

Dalam keheranan, tiba-tiba sesuatu yang aneh terjadi lagi. Semua tanaman Tuan Hamid mengering secara cepat dan mati. Batang-batang dan dahan pepohonan mengerut serta daunnya berguguran. Tak lama kemudian tanah tempatnya berpijak ikut berubah menjadi tandus. Kering berderai tak bisa ditanami lagi.  Tuan Hamid merasa ngeri dan beranjak meninggalkan kebunnya.  

“Sebaiknya aku kembali lagi ke rumah. Mungkin aku bisa memperoleh jawaban atas keanehan yang terjadi ini. Semoga saja mereka merasakan keanehan seperti yang kurasakan?” hematnya dalam hati,

Sesampainya di rumah, Pak Hamid melihat orang-orang sudah semakin ramai dari sebelumnya. Kali ini mereka terlihat lebih sibuk. Mereka bertukang, menggergaji, dan mengetam kayu dengan alat seadanya. Mungkin mereka sedang membuat peti pemakaman untuk si Hamid. Pikir Tuan Hamid. Benar saja, beberapa bilah papan untuk penyangga liang lahat bersandar bersama kayu nisan di samping rumahnya.

 Kecemasan dan keheranan Tuan Hamid kembali merasuki pikirannya dan  membuat ingatannya timbul tenggelam. Ada kalanya dia begitu mengenali si Hamid dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Bahkan dia bisa melihat banyak kepalsuan yang terdapat dalam diri si Hamid. Di lain sisi, ia pun sering tak dapat mengingat banyak hal walaupun tentang dirinya sendiri. Pikirannya selalu melayang dan tidak dapat fokus pada hal yang sekecil apa pun.

Tamu-tamu asing masih berdatangan. Mereka duduk dan berdiri sesukanya di teras rumah, halaman, dan bahkan sampai ke sudut ruangan di dalam rumah Tuan Hamid. Mereka sangat ramai  dan mengusik ketenangan Tuan Hamid.

Ini kemudian membuatnya hilang kesabaran. Gerah dan panas ruangan membuatnya tak dapat hendak menahan marah. Emosinya  memuncak secara tiba-tiba. Lalu Tuan Hamid berteriak sekeras-kerasnya menyuruh semua orang segera pergi meninggalkan kediamannya. Suaranya teramat keras hingga urat lehernya terlihat tegang.

Tapi, lagi-lagi umpatan dan makian Tuan Hamid  tidak diindahkan oleh mereka. Mereka berlagak tuli. Tuan Hamid semakin emosi menghadapinya. Ia marah, sampai-sampai lidahnya terasa kelu. Mulutnya  terkunci dan sulit hendak berucap. Tak henti dia berteriak meminta tolong, tapi orang-orang itu terus tak peduli dan membiarkannya dalam ketakutannya sendiri. 

_ _ _ _ _

 

Keanehan demi keanehan terus saja dialami oleh Tuan Hamid. Kali ini, sesuatu yang lain dan lebih menakutkan terjadi lagi padanya. Entah mengapa, orang-orang yang memenuhi rumahnya itu, seketika saja berubah wujud. Mereka menjadi sosok-sosok asing yang menyeramkan. Sorot mata mereka yang dingin, menatap tajam padanya dengan  penuh kebencian. 

Makhluk asing itu terlihat sangat frustrasi dan menyimpan sejuta dendam padanya. Bukan kepalang takutnya, Tuan Hamid melihat mereka yang mulai bergerak mendekatinya. Tubuhnya gemetar, langkahnya berat terasa ditarik oleh makhluk asing itu. Tak lama ia pun roboh dan  tersungkur di tanah.

Dari segala penjuru  mereka hadir memenuhi halaman dan ruangan di rumahnya. Wajah dan tubuh mereka berlumuran darah. Jumlahnya kini semakin banyak. Bahkan ada yang baru bangkit dari dalam tanah di sekitar pekuburan beberapa meter dari rumahnya. Terdengar pula oleh Tuan Hamid suara raungan, lolongan, dan tangisan menyayat hati keluar dari mulut-mulut makhluk asing itu.

Tak salah lagi. Mereka semua adalah vampir yang ada dalam film-film barat itu. Tuan Hamid mencoba mengumpulkan sisa tenaganya untuk melawan. Ia berusaha bangkit dan  berteriak meminta tolong. Tetapi tak ada siapa yang datang menolongnya. Tenaganya habis dan suaranya semakin hilang mendekam. Ditelan suara raungan para vampir.   

Kematian yang sesungguhnya benar-benar datang kepada Tuan Hamid. Ia harus merasakan kembali pedihnya kematian sebagaimana yang pernah ia rasakan. Tapi kali ini, cengkeraman kuku dan gigitan taring sang vampir yang akan menembusi batang lehernya. Mereka semua adalah mayat-mayat penasaran yang bangkit dari alam kubur. Mereka haus darah dan sangat kelaparan.

“Ah, ini takkan kubiarkan. Aku tak mau mati,” Tuan Hamid menyemangati dirinya untuk tetap hidup.

Tuan Hamid berkali-kali mencoba bangkit. tapi tetap tak bisa. Tak ada jalan baginya untuk dapat bebas dari kepungan vampir yang jumlahnya sangat banyak itu. Sekujur tubuhnya kini sudah digerayangi tangan-tangan dingin mati. Sekejap saja, ia telah merasakan ke dua tangannya putus. Kulitnya tercabik-cabik oleh gigitan taring-taring vampir yang tajam itu. Terakhir yang dialaminya, batang lehernya ditembusi oleh taring vampir yang sangat tajam. Vampir itu mengisap seluruh darah di tubuhnya.

Ia hanya pasrah, diam, dan menikmati saja rasa sakit atas sakaratul maut yang datang tiba-tiba itu. Syukur, dia masih sempat berseru berkali-kali dengan menyebut nama Tuhan. Mengharap pertolongan dari sang Penolong yang sejati itu.

Dalam hatinya dia berbisik, demi dapat melerai rasa sakit yang dialaminya. “Puaskanlah apa yang kalian inginkan dengan kematianku. Kematian hanyalah asbab. Semua sudah digariskan oleh-Nya. Aku sudah tidak takut lagi. Sekalipun ragaku jadi debu setelah kematian ini. Aku tak perduli. Toh, kematian yang sesungguhnya adalah tentang perjumpaanku dengan sang Khaliq. Bukan tentang perpisahanku dengan dunia yang fana. Hidup dan mati selamanya berada di tangan Rabbul ‘Aalamiin. Tuhan yang Maha Menciptakan dan menghancurkan,”

Benar saja, Tuan Hamid tidak lagi merasakan sakitnya kematian setelah sugesti yang keluar dari mulutnya sendiri. Ia dengan tenang melewati saat-saat terakhir yang paling mengerikan itu. Sementara itu, makhluk-makhluk yang kejam itu mengupil serta melatah sisa-sisa jangat ditubuhnya.

Kini ia sudah semakin yakin jika umurnya akan berhenti di sini. Ia akan benar-benar meninggal. Untuk kembali lagi pun tidak mungkin. “Sudahlah, aku tak akan pernah lagi menoleh ke belakang dan memikir dunia ini.” pikirnya.

“Dunia itu penuh tipu muslihat. Banyak orang yang tersesat hanya karena berlomba-lomba mengejar kesenangan dunia. Mereka memperturutkan hawa nafsunya. Kesenangan sesaat yang dikejar itu, tak lain hanyalah akan memenjarakan dan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan itu. Bukankah perjalanan akhirat lebih utama untuk mencapai sebuah keabadian hakiki,” pikirnya yang masih segar dalam tubuhnya yang mulai hancur.

- - - -

Suasana mencekam kini telah hilang. Makhluk-makhluk asing juga menghilang secara tiba-tiba,  entah ke mana? Setelah hajatnya berhasil, mereka lenyap tak meninggalkan jejak.

 Tuan Hamid merasakan dirinya kini terbaring di tengah rumahnya. Ia disemayamkan selama beberapa jam menunggu masa penguburannya tiba.  Ia dibaringkan persis di tempat si Hamid yang sebelumnya sudah terbujur kaku di tengah rumahnya itu

Benar Tuan Hamid telah mati. Tapi ia masih dapat melihat kaum kerabat yang datang melayatnya. Rohnya masih belum terlalu jauh terpisah dari jasadnya.  Dia heran, ke mana mayat si Hamid perginya? Bukankah ia tadi terbaring di sini dan diratapi oleh seluruh keluarganya? Sekarang tak lain yang ada hanyalah satu-satunya mayat Tuan Hamid sendiri. Lalu apakah jenazah si Hamid sudah dikuburkan?

Ia masih melirik kian ke mari sejauh matanya dapat melihat di ruangan itu. Tapi tak terlihat si Hamid yang ingin dicarinya. Sampai akhirnya ia menatap pada secarik kertas putih yang tertempel tepat di dinding rumah yang berhadapan dengannya terbaring. Ada tulisan yang cukup jelas dapat dibaca semua orang. Di situ tertulis tentang namanya yang telah meninggal dunia.  

Baru Tuan Hamid sadar bahwa mayat yang disangkakannya si Hamid itu ternyata adalah dirinya sendiri. Kala itu, ia mengira dirinya masih hidup dan beraktivitas sebagaimana biasanya. Ia masih sempat mendatangi beberapa tempat yang biasa dikunjunginya setiap hari.

Beginikah keadaannya orang yang sudah mati? Tiada lagi memiliki daya upaya sedikitpun walau hasrat masih menggebu. Di sekeliling tampak tidak lagi bersahabat.  Bahkan orang yang dekat dengannya, tidak mampu menhentikan kematiannya.

Sungguh aneh perasaannya. Bagaimana mungkin ia tidak bisa mengenal kematian dirinya sendiri? Setelah beberapa kejadian, akhirnya dia baru tahu jika dia sebenarnya sudah mati.

Masih dalam masa berkabung di rumahnya, tiba-tiba seseorang berbicara setengah berteriak kepada lawan bicaranya di ujung talian jaringan ponsel. Beberapa orang yang berdekatan duduk dengannya berbisik padanya untuk memelankan suara.

 “Tuan Hamid meninggal. Ya, semalam dia baik-baik saja. Baru tahu pagi ini dia sudah tidak ada,” sebuah pembicaraan menggunakan ponsel dari seseorang yang duduk di luar rumah terdengar sampai ke dalam.

Lalu entah apa lagi yang mereka bicarakan, tetapi terdengar orang itu tertawa keras melalui ponselnya.

Pembicaraan mereka terlalu lantang dan terdengar tak beretika.  “Hmm, sungguh keterlaluan. Manusia selagi masih diberi kekuatan, selalu saja berbicara seenaknya. Selagi nyawa belum di pangkal tenggorokan, orang memang berani menertawakan kematian,” serunya masih jengkel.

Walaupun sadar telah mati, tapi perasaan kesal dan marah belum juga sekonyong-konyong pergi jauh dari jasadnya.

“Perkara mati itu kehendak Allah, bukan maunya manusia. Umur tiada yang tahu.  Tapi kita tidak boleh sembarang bicara. Seakan mati itu masih lama lagi. Lalu berbuat apa saja sesuka hati. Jika tumbuh malang di dalam diri, kita tak akan dapat berhindar darinya. Berdiri atau duduk saja, orang pun bisa mati,” umpat Tuan Hamid.

Kini, Tuan Hamid sudah mati. Alamnya sudah berbeda. Ia tak lagi bisa bercengkerama dengan siapa pun juga. Sekalipun keluarganya sendiri.

Pindah alam, rasanya berada di balik dinding saja. Ia masih melihat orang-orang beraktivitas sebagaimana ia pernah mengerjakannya. Aneh terasa dalam pikirannya. Mengapa manusia di dunia tidak bisa melihat kehidupan orang mati? sementara dirinya sendiri bisa melihat kehidupannya sewaktu di dunia.

Itulah ragam kehidupan dari sang Pencipta. Seiring waktu yang terus berjalan, manusia akan mendatangi sang Pencipta. Membawa semua amal perbuatan yang mesti dipertanggungjawabkan.

Jika semasa di dunia, manusia banyak melakukan amal kebaikan, itulah yang akan menjadi ladang kebaikan baginya ketika berada di alam kubur. Tapi jika ada keburukan yang telah ia perbuat, pasti ia akan mendapat balasan yang sama nantinya saat berada di akhirat.

- - - - -

 

Orang-orang yang bertakziah. ke rumah Tuan Hamid sangat ramai. Mereka tak lain adalah kaum kerabat dan handai taulannya. Banyak juga orang yang tak dikenal berdatangan sebagai hendak memberi penghormatan terakhir padanya. Ini karena pergaulan Tuan Hamid yang terbilang baik di kampungnya.  Sehingga banyak orang yang simpati saat mengetahui kepergiannya.

Bagai hilang ingatan, kepasrahan Tuan Hamid untuk menerima kematiannya belum sepenuhnya tulus. Dia bolak balik berpikir untuk kembali hidup. Dia juga kembali meragukan akan kematiannya sendiri. Ditariknya nafas dalam-dalam. Sehingga ia merasakan hal itu. Udara masih mengalir dalam darahnya. Namun tubuhnya benar-benar lunglai tak bisa digerakkan. Matanya pun tak mampu dibukanya. Tiba-tiba rasa sakit dari tubuhnya, mulai terasa menyerang kembali. Seketika darahnya kembali membeku..

“Ya, Allah! Mengapa Engkau tidak memberitahuku jika akan memanggilku secepat ini?” protes Tuan Hamid.. Tapi tiada siapa yang bisa menjawabnya. Semua itu sudah terlambat. Yang mati tak akan hidup kembali. Allah tentu sudah banyak memberinya isyarat tentang kematiannya. Hanya dia saja yang tak pernah menghiraukannya.

Tuan Hamid tak siap menghadapi kematiannya sendiri karena ia merasa tak memiliki  bekal yang cukup. Terbayang olehnya beratnya siksa kubur yang bakal diterimanya nanti. 

Rasa penyesalannya bertubi-tubi datang menghinggapi pikirannya. Ia teringat ketika berada di dunia, dirinya sangat kurang dalam beramal dan bersedekah. Padahal, banyak jalan agar ia bisa melakukan hal itu. Tabungannya untuk akhirat terasa sangat sedikit dan tak memadai untuk menebus kesalahan dan dosanya selama di dunia.

Ia tambah menyesal dan kembali melakukan protes kepada Tuhan. Mengapa Tuhan tidak mengizinkannya hidup sampai datang masa tuanya? Jka begini keadaannya, jelas ia tak bisa mengumpulkan perbekalan akhiratnya sebanyak-banyaknya.

Kematiannya sungguh tak wajar. Ia tak menyangka,  demi menyantap kari kambing di acara kenduri tetangganya itu, ia harus menutup usia. Ia terpaksa meninggalkan sejuta kenangan indah bersama keluarganya. Menemui alam baru dalam kesunyian dan kesendirian.

Sungguh kematiannya dirasakannya sia-sia. Mengapa tidak gugur di medan tempur saja? Atau mati karena mencari nafkah keluarga di tengah laut? Yang pasti, ia ingin mati dalam perjuangan.

Namun apalah daya, keinginannya itu tidak dapat terwujud. Takdir berkehendak lain. Hanya demi kesenangan kecil, akhirnya ia harus menutup lembaran harinya di dalam dunia ini. Jika diizinkan untuk hidup kembali, ia pasti tak akan melakukan pekerjaan bodoh itu kembali.

Mayat Tuan Hamid sudah lama berada di tengah rumah. Tiba pula kini saatnya, orang-orang yang datang hendak menyelenggarakan penguburannya.  Kain kafan sudah dipotong, air mandi bercampur harum bunga pun sudah di sediakan. Begitu pula papan penutup liang lahat dan batu nisan sudah beres semuanya dikerjakan.

Perlahan-lahan tubuh Tuan Hamid diangkut ke tempat pemandian. Dia mulai dimandikan dengan air bunga tujuh rupa. Dua anak lelakinya yang baru mulai meningkat remaja ikut memandikannya. Tuan Hamid melihat semua yang mereka lakukan. Sesekali terlihat pula olehnya isak tangis yang tertahan dari anak-anaknya saat membelai lembut tubuhnya. Di situlah tumpah rasa kasih dan sayang sang anak, serta terbayang kebaikan ayah mereka yang tak pernah merasa lelah untuk menafkahi mereka.

Namun bagi Tuan Hamid, semua itu sudah selesai. Dunianya hanya sementara dan kini sudah pula berakhir. Sejuta tangis dan air mata tidak akan menyelesaikan persoalan kematiannya. Ini sudah janji Allah dan menjadi sunnatullah. Yang hidup pasti akan menemuii ajalnya. Tinggal sekarang bagaimana mempertanggungjawabkan semua perbuatannya  di hadapan sang Pencipta.

Selesai dimandikan, Tuan Hamid kembali dibaringkan di tengah rumah untuk dilekatkan kain kafan. Semua mata memandang ke arahnya. Mereka berdiri berdesakan memenuhi ruangan. Ada pula yang melongokkan kepala melalui pintu dan jendela agar dapat melihatnya untuk kali terakhir. Ia merasa malu juga karena auratnya sedikit terbuka dan dilihat banyak orang.

Di antara para pelayat, ada yang terbawa suasana dan ikut menangis. Namun mereka tidak menangisi Tuan Hamid yang telah pergi. Tidak pula tentang bagaimana Tuan Hamid akan menjawab pertanyaan malaikat penjaga kubur. Yang mereka jadi ikut terbawa suasana adalah tentang aura kesedihan yang terpancar pada raut wajah anak-anak dan istri Tuan Hamid. Kesedihan ditinggal orang tersayang memangvsangat berat. Apa lagi dia adalah seorang ayah yang selama ini sangat dekat dan menjadi tulang punggung keluarga.

Selesai dikafani, ahli keluarga almarhum Tuan Hamid bergantian mencium keningnya untuk kali yang terakhir. Di situ pecah tangis kesedihan. Lalu beberapa orang mencegah keluarganya dari  menitikkan air mata. Itu dapat menjadi beban siksa kubur bagi almarhum. Akhirnya keluarga Tuan Hamid menurut walau kesedihan masih tidak dapat mereka sembunyikan.

Beberapa ritual penyelenggaraan jenazah Tuan Hamid sudah dilakukan. Kini mereka bersiap-siap untuk mengantar jenazah Tuan Hamid ke pemakaman.

Saat mereka mengusung jasad Tuan Hamid ke perkuburan, Tuan Hamid hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat sesuatu. Dia  ingin berteriak sekeras-kerasnya agar mereka tidak menurunkannya ke dalam tanah.

Ini sesuatu yang paling menakutkan. Tempat yang kecil dan gelap. Terbayang olehnya akan kesendirian. Hilangnya orang-orang tersayang yang selalu ada dan menemani dalam suka dan duka. Tapi kali ini ia akan kesunyian dalam kesendiriran. Tak ada lagi teman. Tak ada lagi sahabat atau orang-orang yang usil ingin menggodanya. Tak ada pula rasa ingin membenci, marah, atau bahagia. Tinggallah ia sendiri dalam kedinginan dan kegelapan. Sampai masanya tiba, semua orang akan dikumpulkan demi sebuah perhitungan hari akhir.

- - - - -

Tiba saat yang tak bisa disurutkan lagi. Tuan Hamid di susul masuk ke liang lahat.  Dia memberontak. Tapi tenaganya terkunci tak dapat bergerak.. Dia berusaha bernapas, menghirup udara dalam-dalam. Suara mengorok dari mulutnya, terdengar di telinganya sendiri.

“Aku belum mau mati. Aku tak mau dikubur. Aku belum mati..!” pekik Tuan Hamid keras masuk ke liang telinganya sendiri.

 Tetap tak ingin dikubur, Tuan Hamid terus mengupayakan agar dapat menggerakkan kaki dan tangan sedikit demi sedikit. Ia berharap agar orang-orang itu menghentikan niat mereka ingin menguburkannya hidup-hidup. Namun sebaliknya, mereka berkeras hendak membenamkan Tuan Hamid ke dalam liang lahat.

Mendapati Tuan Hamid tidak menurut, Para pengubur itu menjadi kasar dan beringas. Tiba-tiba pula wajah mereka berubah berbulu dan menakutkan. Daun telinga mereka menjadi lebar. Begitu pula lidah mereka seketika menjuntai hingga ke tanah.

Tuan Hamid terkejut dan bertambah takut. Ia meyakini  jika para pengubur itu sebenarnya adalah bukan manusia. Mereka adalah sekawanan iblis. Seperti sedang kerasukan, mereka mencekik bahkan  menginjak-injak tubuh Tuan Hamid. Tuan Hamid meronta. Ia memanggil-manggil istri dan anak-anaknya. Tapi tetap tidak ada yang menggubrisnya.

“Tolong.., tolong..,” seru Tuan Hamid berkali-kali.

Tak lama, suara gaduh seperti orang menabuh beduk membuat para pengubur berlompatan ke luar dari dalam kubur.

Duuk.., duuk.., duuk! suara beduk bertalu-talu memecah keheningan subuh hari.

“Ini subuhkah?” Tuan Hamid bertanya untuk meyakinkan dirinya,

”Ah, benar, ini pasti subuh. Aku mendengarnya. Aku belum mati..,” sahutnya yakin.

 Mendengar suara beduk, para pengubur yang berubah wujud itu terlihat menyesal. Mereka kecewa. Mereka sangat sakit mendengarnya hingga menutup telinga mereka yang panjang dan lebar itu.

Tak lama setelah bunyi beduk, terdengar pula lantunan suara azan mengagungkan asma-Nya. Allahu Akbar… Allahu Akbar. Suara itu menggema dalam keheningan. Para pengubur semakin kepanasan. Mereka gundah karena tak dapat melampiaskan dendamnya. Dalam kepayahan, mereka terus berusaha untuk mendekati Tuan Hamid.

Beberapa kali mereka bolak balik keluar masuk ke dalam kubur. Mereka mencekik leher  Tuan Hamid.  Tuan Hamid bertakbir. Tak lama ia melihat para pengubur itu hangus terbakar  laksana daun kering yang dijilat api. Dia makhluk yang mengerikan dengan lidah menjulur ke tanah. Telinga mereka panjang dan lebar sehingga menutupi sebagian wajah mereka. Bersama itu pula, terdengar seseorang mengumandangkan azan masuk liang kubur lalu menyelinap ke telinganya.

Dia menyimaknya untuk memastikan pendengarannya. Benar saja, itu adalah suara azan dari surau di dekat rumahnya. Beberapa kalimat suci mengagungkan nama-Nya, mulai terasa meringankan jalan napasnya. Tuan Hamid bergidik. Ia sadar dan dan berupaya untuk membuka kelopak matanya. Ada bayang-bayang kelam hari. terekam dalam penglihatannya.

“Ini subuhkah?” tanya Tuan Hamid tak berhenti. Ia juga masih mengatur jalan napasnya yang tersengal. Syukur karena perlahan-lahan ia mulai merasa siuman. Terasa  pula darahnya kembali mengalir dari setiap urat nadinya. Seiring dengan itu,  peristiwa penting perlahan-lahan mulai masuk dalam ingatannya. Ia terkenang tentang saat terakhir berada di rumah tetangganya.  Menyantap nikmatnya gulai kari kambing.

Ia membuka kelopak matanya. Melihat pemandangan yang sudah sangat lazim. Ada sebuah bilik kecil berdinding kayu. Duduk pula bersimpuh di sisinya seorang wanita paruh baya yang sudah sangat lama dikenalinya. Dia itu adalah istrinya.

“Tuan… bangun, Tuan!” seru istrinya membangunkan Tuan Hamid “ Tuan sedang bermimpi buruk.”

 Tuan Hamid  mengigau. Tubuhnya berkeringat membasahi sekujur tubuhnya.

“Duduklah dan bawa beristighfar, Tuan,” kata sang istrinya lembut.

“Astaghfirullah al ‘azhiim..,” ucap Tuan Hamid berkali-kali.

“Bangunlah! Sekarang sudah subuh, Tuan,” lanjut istrinya lagi.

Tuan Hamid duduk. Perlahan ia mulai sadar. Tapi mimpi ngeri yang baru dialaminya masih membekas dipikirannya. Rasa sakit di sekujur tubuhnya belum serta merta hilang. Tulangnya terasa ngilu. tengkuknya berat dan persendiannya pun terasa pegal. Ia berdoa sejenak sebelum beranjak ke kamar mandi mengambil wudu’. Setelah merasa stabil, ia bergegas berangkat ke surau untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah.

 

CERITA TUAN HAMID BATAL MASUK SYURGA

 

"Engkau sudah sampai Hamid. Apa kabar?" sapa malaikat kepada Tuan Hamid.

Tuan Hamid sangat bahagia saat mendengar malaikat mulai menyapanya. Tidak masalah baginya walau ia dipanggil nama saja oleh para malaikat. Di dalam dunia, orang banyak yang menyanjungnya dan menyapanya dengan sebutan Tuan Hamid.

Dipanggil oleh malaikat adalah saat yang paling ditunggu-tunggu. Ini adalah waktu penentuan untuk memasuki pintu-pintu keridhaan-Nya. Semula ia mengira bahwa malaikat akan mencercanya dengan pertanyaan yang keras. Ternyata tidak. Rupanya malaikat adalah makhluk Tuhan yang lemah lembut.

Kini Tuan Hamid menjadi yakin, segala amalannya akan diganjar pahala oleh Tuhan. Saat di dunia, ia tak pernah absen mendatangi surau yang berada di dekat rumahnya. Kesempatan ini pun tidak disia-siakan olehnya untuk dijadikan bukti jika ia adalah orang baik.

Tuan Hamid bangga. Ia bagai telah mencium bau syurga. Sambil melirik ke sebuah gerbang yang berada di seberang pelintasan, ia pun tak ragu menjawab pertanyaan para malaikat. Semuanya dilakukannya dengan santai.

Sudah tidak sabar rasanya hendak memasuki gerbang itu, pikir Tuan Hamid. Terpampang tulisan yang sangat besar "Selamat Datang para Penghuni Syurga". Angin syurga pun mulai terasa berhembus menyentuh tubuhnya. Aroma wewangian tetumbuhan dan buah-buahan syurga serta gemercik air sungai yang damai mengalir perlahan terasa sangat membangkitkan gairah Tuan Hamid untuk bisa segera menyentuhnya.

"Bisakah aku memasuki syurga itu sekarang wahai para Malaikat?" tanya Tuan Hamid untuk sekedar berbasa basi.

Makhluk Allah yang lugu itu tampak tersenyum mendengarnya. "Sabar," sahutnya.

Sabar.., tentang hal itu tidak masalah bagi Tuan Hamid. Toh, syurga sudah sangat dekat. Ia pun yakin akan banyak kebaikan yang telah dilakukannya. Sebentar lagi ia akan menikmati hasil dari semua amalan terpuji yang dilakukannya selama di dunia. Begitulah sahutnya dalam hati.

Malaikat mulai memeriksa catatan amal perbuatan Tuan Hamid selama berada di dunia. Tampaknya nilainya bagus, Tuan Hamid aman. Diliriknya Tuan Hamid mulai dari telapak kaki hingga ke ubun-ubun. Sebentar makhluk Tuhan itu manggut-manggut seperti tidak mempercayainya. Sejurus kemudian, barulah ia menyerahkan buku catatan amal Tuan Hamid dari tangan kanannya.

Tuan Hamid tersenyum. Hasil memang tak pernah menghianati usaha, pikirnya dalam hati. Sambil mengucapkan syukur, ia terus mengenang indahnya saat berada dalam syurga nanti.

Sementara itu, di belakang Tuan Hamid masih panjang antrean manusia yang menunggu giliran dan menanti pertanyaan para malaikat. Mereka berdesak-desakan. Di antaranya banyak yang terlihat gusar dan kelam kabut. Mereka juga ada yang meronta-ronta hingga melompat-lompat kepanasan. Sampai-sampai ada yang terjatuh ke tebing yang terletak di sisi kanan dan kiri mereka.

Inilah saatnya manusia itu 'nafsi-nafsi'. Masing-masing hanya memikirkan untung dirinya sendiri. Tak seorang pun yang mau memikirkan orang lain. Walaupun itu adalah keluarganya sendiri. Semua merasa lebih penting memikirkan nasib dan menyelamatkan dirinya saja. Tepat di hadapan mereka, hanya ada dua kepastian yaitu masuk ke dalam syurga atau pun neraka?

Lama tidak kunjung disuruh masuk, Tuan Hamid mulai gerah. Lalu ia protes kepada malaikat. Mengapa ia tak kunjung disuruh masuk? Sementara beberapa yang lain berada di belakangnya mulai dipanggil dan disuruh masuk tanpa hisab.

"Lho, kenapa mereka diperkenankan masuk? " tanya Tuan Hamid heran.

"Sebentar, Hamid. Mereka itu para Syuhada. Mereka mati syahid. Mereka itu mendapat prioritas utama dari Tuhan." jawab malaikat.

Tidak lama kemudian, masuk lagi serombongan orang dengan menggunakan kereta cahaya. Pakaian mereka serba putih. Tuan Hamid hanya terpelongo memandangnya. Siapa lagikah gerangan mereka itu semua? Mereka bergerak melintasi jembatan shirath dengan mulus. Di raut wajah mereka turut memancarkan cahaya ketulusan hati dan budi mereka.

Sejurus kemudian, ia pun melihat rombongan yang lain,  yaitu orang-orang yang menyeberang jembatan dengan berbagai keadaan. Ada yang menyeberanginya secepat kilat, kencang seperti angin, terbang bebas bagaikan burung, atau bagaikan kuda yang bergerak cepat. Mereka semua masuk dengan enteng, tanpa ada banyak rintangan.

Tiba-tiba malaikat berseru, "Sebelum masuk, engkau masih perlu menyelesaikan beberapa perhitungan lagi. Dan.., itu ada yang ingin bertemu denganmu," tambahnya.

Beberapa orang muncul. Tuan Hamid sempat lupa pada mereka. Ia baru sadar setelah malaikat memperkenalkan mereka padanya.Mereka adalah istri dan anak-anak Tuan Hamid. Mereka datang untuk menuntut padanya.

Kali  ini, terasa langkah Tuan Hamid mulai terganjal. Urusannya jadi makin panjang. Beberapa pertanyaan baru pun harus diselesaikan segera olehnya. Di depan keluarganya, Tuan Hamid mulai di cecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang berat.

"Benarkah engkau saat di dunia sangat dihormati karena ketaatanmu?" tanya malaikat.

"Benar, malaikat," jawabnya.

"Benarkah engkau saat di dunia dipandang sebagai orang yang ahli ibadah?" tanya malaikat lagi.

"Benar," jawabnya sangat yakin, "Saya lebih mengutamakan ibadah dari pekerjaan saya."

"Benarkah engkau tidak merasa bosan mengajak orang-orang di kampungmu untuk beribadah?" tambahnya.

"Wah, sangat benar."

Tuan Hamid sangat gembira dengan pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan oleh para malaikat. Ia menganggap para malaikat memang bijak menanyakan hal-hal yang baik tentangnya.

"Benarkah engkau saat di dunia tidak menghiraukan keluargamu?" tanya malaikat berikutnya.

Tuan Hamid terhenyak. Pertanyaan seperti apa ini? Mana mungkin ia tidak menghiraukan keluarganya sendiri. Makan minum, pakaian, dan lain sebagainya sudah dipenuhinya.

"Itu tidak benar, Malaikat, " jawabnya sedikit kesal.

"Benarkah engkau shalat dan beramal karena takut masuk neraka?" tanyanya lagi.

"Ya, malaikat. Siapa juga yang berani masuk neraka?" jawab Tuan Hamid tegas.

"Neraka adalah makhluk. Takutlah hanya kepada zat yang menciptakan makhluk itu, yaitu Allah." jelas malaikat.

Tuan Hamid terdiam. Ia terjebak dalam jawabannya sendiri. Ia sebenarnya sudah mengerti bahwa tiada Tuhan yang wajib diagungkan kecuali Allah.

"Adakah engkau mengingatkan anak-anakmu untuk shalat?" tanyanya lagi.

"Sudah saya suruh dan peringatkan mereka sebelum berangkat ke surau. Tapi saat sedang shalat, saya tak tahu lagi. Bagaimana saya bisa melihat ke belakang tentang keberadannya jika saya sedang shalat?" kata Tuan Hamid beralasan.

"Engkau tidak bersungguh-sungguh dalam mendidik keluargamu. Sebaliknya, engkau berbuat seakan-akan telah banyak berkorban. Engkau pun sempat menyalahkan takdir atas kesalahanmu mendidik mereka." terang malaikat.

Tuan Hamid kembali terdiam. Ia mulai merasakan hidup yang dulu dijalaninya penuh kerugian. Ia menyesali kelalaiannya sendiri. Jika boleh meminta,  ia ingin kembali ke dunia dan menebus segalanya. Malaikat pun tak luput mengingatkannya akan firman Allah dalam surat Al 'Ashr. Surat ini mengabarkan tentang manusia yang berada dalam kerugian. Kecuali mereka yang selalu beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Tuan Hamid mulai lelah. Ia terus diberondong oleh pertanyaan-pertanyaan yang menjebaknya.

"Di hadapanmu saat ini berdiri istri dan anak-anakmu. Bagaimana engkau bisa berjalan sendiri tanpa membawa mereka bersamamu? Mereka kau tinggalkan. Sedangkan engkau mengharap, beroleh syurga yang luas untuk kau tempati."

"Apa salah saya berharap syurga itu? Bukankah ibadah saya sangat baik selama di dunia?" protes Tuan Hamid kemudian.

"Syurga tidak dapat diraih karena amal ibadahmu. Syurga itu hanya bisa diperoleh karena keridhaan Ilahi." jawab malaikat.

"Lalu, seberapa besar dosa saya pada keluarga ini, setelah saya menghabiskan masa tua bersama mereka?" tanyanya.

"Allah memerintahkan agar engkau menjaga dirimu dan keluargamu dari api neraka. Sekalipun engkau ada bersama mereka, tetapi engkau menjaga mereka sekadarnya. Engkau lebih sering mengabaikan mereka. Engkau mengira dengan ketataanmu sudah cukup dapat diikuti oleh mereka. Engkau tidak mengajari mereka dan tidak pula memperbaiki kesilapan dan kekurangan mereka. Mereka beramal dan beribadah, namun kau biarkan mereka berjalan sendiri dengan cara mereka masing-masing. Akhirnya mereka hanyut sangat jauh dan amal ibadah mereka tidak lagi sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Nabimu Shallallahu 'alaihi." tukasnya.

"Bukankah telah diperingatkan juga padamu sebagaimana sabda Rasul bahwa sesungguhnya setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang suami adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya." Tambahnya

Tuan Hamid terjebak. Ia tak lagi merasa gembira seperti sedia kala. Ia sadar selama ini ia memang lebih mementingkan dirinya sendiri dalam hal beribadah dibandingkan mementingkan keluarganya. Semua rekaman tentang dirinya yang banyak mengabaikan keluarga ditunjukkan padanya. Tak ada satu pun yang luput dan tersembunyi. Ia diingatkan dengan banyak hal tentang kesalahan dan dosanya.

Berkali-kali Tuan Hamid mencoba membela diri. Namun sayang, malaikat tidak lagi mau mendengar apa pun alasan yang dikemukakannya. Ini adalah peradilan maha tinggi. Hanya perlu menjawab ya atau tidak. Semua argumennya hanyalah sebuah pembelaan yang tak berdalil. Tidak ada pembenaran sekecil apa pun dari sebuah kesalahan yang pernah dilakukannya. Sebaliknya,  ia harus menerima balasan dari setiap perbuatan baik atau buruk yang dilakukannya selama di dunia.

"Dalam hati kecilmu terbersit sifat riya, yaitu banyak ibadah dan amalan yang engkau lalukan hanyalah mengharapkan sanjungan dan ingin dipuji oleh orang lain. Asbab itulah yang menggugurkan semua amalanmu dan engkau akan tercampak ke neraka," jelas malaikat.

Tuan Hamid sangat menyesal. Ia beristighfar dan meminta ampun kepada Tuhan. Tangisnya terdengar lantang dan mengejutkan penduduk di Yaumil Akhir itu. Tak urung malaikat penjaga pintu neraka pun datang dan hendak menyeret Tuan Hamid. Tapi, istri dan anak-anak Tuan Hamid segera menghadangnya. Mereka buru-buru memeluk Tuan Hamid.

Terjadi kepanikan yang sangat besar. Keringat Tuan Hamid mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya. Nafasnya tersengal dan tenggorokannya terasa amat perih. Ia dicekik oleh tangan-tangan kekar sang Malaikat. Tampaknya juga, pembelaan istri dan anak-anaknya tak dapat menghentikan niat para malaikat yang kasar itu.

Dari balik kepanikan itu, terdengar pula di telinga Tuan Hamid akan sahutan berulang-ulang memanggil dirinya. Ia sangat hafal dengan suara-suara yang selalu menggugah jiwanya selama ini. Mereka adalah orang-orang yang selalu setia bersamanya. Dibukanya mata perlahan-lahan walaupun terasa amat berat. Dilihatnya sosok-sosok yang selamanya hadir di dekatnya itu. Mereka tak lain adalah istri dan anak-anaknya.

Tapi suasananya sangat berbeda. Ini bukan hari akhir sebagaimana yang sedang dialaminya saat ini. Ada bilik kecil tempatnya menguraikan rasa lelah. Kamar yang telah dihuninya selama ia bersama istrinya. Dalam suasana keharuan yang sangat dalam, ia ditangisi oleh orang-orang yang tersayang di sekelilingnya.

Seketika saja  ia terjaga dari mimpi buruknya. Istri dan anak-anaknya yang khawatir terhadap dirinya tergopoh-gopoh membangunkannya dari tidur. Sebelumnya mereka mengira telah terjadi sesuatu yang sangat tidak mereka inginkan terhadap Tuan Hamid. Mereka belum mau kehilangan Tuan Hamid. Tuan Hamid adalah tulang punggung dalam keluarga.

Setelah terjaga, Tuan Hamid tak berhenti beristighfar. Ia bersyukur karena Allah masih memanjangkan umurnya. Tobat, ia tak sanggup untuk mengulangi peristiwa ngeri yang akan dilewatinya kelak. Sambil terus berzikir, sesekali ia menceritakan perihal mimpi yang dialaminya. Setelah itu, anak-anak dan istrinya hanya berkata padanya, ”Itu hanya mimpi…”