GELAPNYA JALAN KE SURAU KAMI
PELAYAT
"Ini acara apa?" Pak Hamid
bertanya dalam kerumunan wajah yang penuh kebingungan.
"Hamid meninggal. Dia mati
karena serangan jantung," seseorang yang duduk di samping Tuan Hamid
membisikkan itu di telinganya.
"Oo..,
Innalillah, ya, Allah, aku lupa," serunya.
Tuan Hamid merasa mulai pikun. Dia baru
sadar jika dini hari tadi mendengar pengumuman melalui corong pengeras suara di
surau. Hamid telah menghembuskan nafanya yang terakhir. Ia mati mendadak di
rumahnya. Teringat pula olehnya sebelum ini, orang yang memiliki nama yang sama dengannya
itu, banyak menyantap kari kambing
pada acara kenduri tetangganya. Tuan Hamid pun sempat berada di tempat jamuan itu
dan ikut memanjakan seleranya. “Uhh..,
memang sedap.” Semua orang pun berdecak kagum setelah menyantap masakan kampung
melayu yang satu ini.
Kala itu, Tuan Hamid sempat melarang
Hamid. Tapi Hamid tetap ungkal. Dia
keras kepala. Soal makan, dia memang tak
dapat mengerem seleranya. Pantang melihat
hidangan masakan kampung yang lezat. Pasti jakunnya naik turun dan air liurnya
berteteran jatuh. Jika tidak malu, apa
saja makanan di hadapannya bakal lesap pelan-pelan dimakannya. Hati Tuan Hamid
sempat berdetak akan terjadi sesuatu pada si Hamid saat itu. Ternyata benar, dia
mati juga akhirnya.
Hamid memang ceroboh. Dia sudah
beberapa kali dinasehati oleh dokter untuk tetap mengatur pola makannya. Tapi dia tak perduli. Dia yang
menempah penyakit. Sekarang dia menanggung
padahnya akibat tak dapat menahan selera.
“Hmm..,
sekarang tamatlah sudah riwayatmu,” kata Tuan Hamid menggerutu sendiri.
Beberapa riwayat sakit yang diidap
oleh si Hamid seperti sakit jantung dan sesak napas, mengharuskannya untuk mengatur
dan menahan seleranya. Tapi dia tak dapat menahan air liurnya ketika mencium
bau harum kari kambing yang dimasak pada acara kenduri semalam. Padahal banyak orang telah memperingatkan
bahaya makan daging kambing padanya. Terlihat pula kala itu, si Hamid seperti
orang yang meninggalkan perangai. Dia selalu membuat perhatian orang-orang
menjadi tertumpu padanya. Perilakunya sedikit aneh dan sempat membuat banyak orang
tertawa geli. Tapi tak ada yang menyangka bahwa itu adalah hari pertemuan
terakhir mereka dengan si Hamid.
Sebelumnya, hati kecil Tuan Hamid sudah
melarang si Hamid dari menyantap makanan itu. Tapi apalah daya, ini terlalu
lezat untuk ditolak. Tuan Hamid sendiri tak dapat menahan godaannya. Dalam perasaannya,
dia akan sangat menyesal jika tidak menyantapnya. Dia takut kempunan. Kata orang kalau kempunan bisa
bahaya juga. Makanya dia ikut-ikutan untuk menyemangati si Hamid agar makan
sepuasnya. Hmm, sudah nasib si Hamid
meninggal. Mungkin ini hanya asbab saja. Umur seseorang sudah ada yang
menentukan. Tak perlu berdebat.
Tentang si Hamid, Tuan Hamid sudah
mengenalnya seperti mengenali dirinya sendiri. Usianya tidaklah terlalu tua.
Namun rambutnya sudah memutih penuh uban. Menurut Tuan Hamid, si Hamid
seharusnya tak buru-buru mati. Anak-anaknya
masih kecil dan sangat membutuhkan kasih sayangnya. Tak terbayang beratnya
kehidupan istrinya nanti menanggung beban membesarkan anak-anak mereka. Dengan
apa ia akan meneruskan cita-cita si Hamid yang ingin anak-anaknya menjadi orang
sukses? Tampaknya, cita-cita dan harapan si Hamid akan terkandas di tengah
jalan.
“Kasihan sekali kau, Hamid?”
lirihnya.
Jiwa si Hamid benar-benar terekam
dalam pikiran Tuan Hamid. Ia terbawa mayat
si Hamid. Kematiannya merasuk sampai ke dalam raganya. Dia dia terus
terkenangkan si Hamid. Sampai-sampai, pengalaman mati yang sangat menakutkan sebagaimana
yang dialami oleh si Hamid, sangat dirasakan pula olehnya.
Ada kengerian yang dia rasakan
sehingga tubuhnya serasa dikuliti hidup-hidup. Ini sakit sekali dan tak
pernah dialami sebelum ini. Tulang-tulang dan persendiannya tertarik, meregang,
dan lepas dari engselnya. Sungguh sakit tak terperi. Begitu pula rasa haus yang
datang menyerang. Serasa ingin dia meneguk air sepenuh lautan, tapi tetap belum
bisa menghilangkan dahaganya. Ooh.., tobat.. Sungguh berat dan tak tertahankan.
Kini, setelah si Hamid menutup usia
dalam hembusan napas terakhir, Tuan Hamid baru bisa bernafas lega. Sakit menahan
sakaratul maut yang dirasakannya sebagaimana
yang dialami oleh si Hamid, sudah pula hilang. Tulang dan sendi-sendinya kini
mulai terasa menyatu kembali. Haus pun sudah tidak ada lagi. Uhh.., tobat. Tak sanggup rasanya bagi Tuan
Hamid melewati mati yang kedua kalinya nanti. Cukuplah sekali ini saja. Atau,
jika boleh meminta, Tuan Hamid pun tak
ingin menjadi manusia. Biarlah menjadi daun atau batu saja. Agar dirinya takkan
pernah merasakan penderitaan atau kesakitan walau sedikit pun.
Kematian memang sangat mengerikan. Ia
teramat pasti takkan dan tak ada yang sanggup menahannya. Tapi, mengapa banyak orang
yang nekat memilih menjadi manusia saat perjanjian dengan Tuhannya?
Dasar!!! Manusia memang makhluk yang sulit
untuk dimengerti. Akal sudah diberi, nafsu juga diberi, namun selalu saja
akalnya dapat dikalahkan oleh nafsu. Mudah melanggar dan mengatakan khilaf.
Lalu menyesal, tapi mengulangi kembali kesalahannya. Begitu terus tanpa
henti-hentinya sampai ajal datang menjemputnya.
Lihatlah! Berapa banyak orang yang
mati penasaran. Padahal sejuta angan dan keinginan belum dapat
direalisasikannya. Semua harta dunia yang terkumpul akan tinggal dan tak satupun
dapat menjadi bekal. Kecuali hanya bila ada amalan baik yang dapat dibawa mati. Ia kelak akan menjadi
penolong saat malaikat dalam kubur menanyainya.
Kesadaran Tuan
Hamid timbul tenggelam. Di rumahnya sangat ramai dengan orang-orang. Tak
terkecuali kenalan, kerabat, dan handai taulan. Entah sedang ada perhelatan apa
dan siapa yang mengundang mereka untuk datang ke rumahnya. Mereka duduk dan
berdiri sesukanya tanpa ada penyambutan. Tidak ada kursi-kursi di dalam tenda
agar mereka bisa menikmati perhelatan. Yang ada hanya wajah-wajah duka dan
penuh kecemasan. Sebagian mereka bahkan berpakaian serba hitam.
Dalam kegelisahannya, Tuan
Hamid lupa sesuatu. Di mana istrinya? Di mana anak-anaknya? Di mana keluarganya
semua? Dia mencari mereka. Dia pun melewati kerumunan orang-orang yang berada
di sana tanpa sedikit pun ingin menyapa. Selain merasa risih, dia pun ingin sekali
marah melihat orang-orang yang menjadi tamu tak diundang ini.
Di ruang tamu rumahnya, Tuan
Hamid mendapati istri dan anak-anaknya sedang duduk bersimpuh saling
berhadapan. Mereka sedang meratapi sesosok jasad mati yang terbaring di
tengah-tengah mereka. Tuan
Hamid mendekati demi hendak melerai kesedihan yang dialami oleh keluarganya. Ditatapinya
wajah memelas sang istri, begitu pula dengan anak-anaknya yang sangat
dikasihnya itu.
Tampak jelas kedukaan yang amat besar ditanggung oleh orang seisi
rumahnya. Meratapi jasad kaku tak bernyawa di tengah-tengah mereka. Dia tak
lain adalah si Hamid. Sebuah nama yang sangat dekat di telinga dan tak terpisahkan
di dalam keluarganya. Bagaimana mungkin mereka dapat mengabaikan nama yang
sangat berarti dalam kehidupan mereka selama ini, jika itu adalah nama sang
ayah dari anak-anak dan suami dari seorang istri tercinta?
Namun si Hamid bukanlah Tuan Hamid. Mengapa seisi rumahnya
meratapi mayat orang asing tanpa pertalian keluarga itu? Ada apa ini? Tuan Hamid terus berpikir
dalam kebingungan. Tubuh kurus yang terbujur
kaku dengan berselimut kain panjang, begitu
pentingkah orang itu bagi mereka?
“Apakah mereka mengira itu adalah aku?” tanya Pak Hamid dalam
hatinya.
Sangat jelas terlihat olehnya, dorongan kasih dan sayang yang
ditunjukkan oleh keluarga kepada si Hamid. Bahkan kehadirannya di tengah-tengah
mereka seperti sudah tidak penting lagi. Kecewa benar Tuan Hamid mengenangkan
hal itu. Terbersit rasa cemburu yang tak terungkap di hatinya. Ingin saja ia
berteriak sekerasnya agar anak dan istrinya bisa membedakan antara dirinya
dengan orang asing itu. Tapi berat dan rasanya tak tega ia melakukan itu.
Dalam kegerahan, Tuan
Hamid mendekati mayat si Hamid, lalu dibukanya kain cadar yang menutupi wajah
lesu itu. Kasihan kau, Hamid. Tuan
Hamid berseru dalam hati. Tak lupa pula ditatapnya dalam-dalam guratan wajah gusar
yang menempel di pipi mayat si Hamid itu.
“Begitu cepat kau pergi meninggalkan dunia ini,” serunya lagi.
“Kau tahu, betapa anak-anak dan istrimu masih sangat memerlukanmu? Tapi kau
sengaja menempah penyakit, hingga ajal menjemputmu.”
Tuan Hamid tak sedikit pun
terlihat sedih atas kematian si Hamid. Namun bukan karena dia tak punya hati. Ia ingin mengisyaratkan
pada keluarganya untuk tidak meratapi kematian yang sudah pasti. Ini
hanyalah sebuah perjalanan hidup. Pertemuan atau perpisahan sudah menjadi
sunnatullah. Takkan ada siapa yang mampu menangguhkan atau memajukannya.
“Sudahlah, tak perlu ditangisi.
Orang yang sudah mati tak akan hidup kembali,” kata Pak Hamid
menenangkan keluarganya.
Namun keluarganya masih
saja larut. Mereka bahkan tak menghiraukan kata-kata Tuan
Hamid.
“Ah, sudahlah. aku tak ingin melayani kesedihan mereka. Ini hanyalah
sebatas kenangan kecil yang menempel di pikiran mereka. Tak akan lama, akhirnya
mereka pasti akan terbiasa dan melupakan semua yang terjadi. Sebaiknya aku beranjak saja dari sini,” pikir Tuan Hamid tidak mau pusing dengan segala yang terjadi.
Kesadaran Tuan Hamid kembali timbul tenggelam. Dia merasa ada
sesuatu yang terlepas dari ingatannya. Keraguannya muncul tiba-tiba. Dia bahkan
tak percaya pada dirinya sendiri. Siapa dirinya ini? Dan siapa pula si Hamid
itu? Apakah si Hamid itu adalah dirinya sendiri? Ia menampar-nampar pipinya demi meyakinkan
kalau dirinya tidak sedang bermimpi. “Aduh, sakit!” pekiknya. Ia mengerang kesakitan
menahan tamparan keras tangannya sendiri.
“Tidak.., aku tidak bermimpi. Aku tidak mati,
aku masih hidup,” serunya meracau
sendirian.
Tuan Hamid akhirnya beranjak dari situ. Jam begini, sebagaimana biasa,
ia sudah berada di kebunnya. Namun ia bukan pekebun sungguhan. Ia berkebun demi
mengisi waktu luangnya saja. Pekerjaannya sebagai guru mengaji di kampung,
memang memiliki banyak waktu untuk melakukan hal apa saja di siang hari. Tanamannya
terlihat kerdil dan tidak terurus. Tidak seperti pekebun lainnya, yang memang menggantungkan
usaha mereka dengan bercocok tanam.
Tuan Hamid keluar melewati kerumunan
orang-orang yang berada di luar rumah. Mereka terlihat masih setia menunggu
sambil terus berbincang-bincang. Terdengar pula di telinga Tuan Hamid saat mereka membicarakan si Hamid. Kata mereka, si Hamid
orang baik. Dia taat beribadah. Mereka menyebut juga bahwa si Hamid sebagai
orang yang tegas dan berwibawa.
Tuan Hamid hanya mengerutkan dahi mendengarkannya. Tentang pribadi
si Hamid, tampaknya Tuan Hamid jauh lebih tahu. Orang-orang hanya
melihat dari sisi luarnya saja. Si Hamid memang kelihatan baik. Tapi keburukan si
Hamid, mereka tak pernah mengetahuinya.
Tidak sekadar membicarakan tentang si Hamid, kali
ini mereka juga membicarakan tentang istri dan anak-anak Hamid. Kata mereka, kasihan
anak-anak si Hamid sudah menjadi yatim dan istrinya kini menjadi janda.
Perkara si Hamid benar-benar membuat Tuan Hamid bingung. Bagaimana bisa orang itu hadir dan tak luput
dalam pikirannya? Ia dapat merasakan setiap kejadian yang dialami oleh si Hamid.
Tidak saja dia memiliki banyak persamaan dalam tingkah laku, sifat dan wajah mereka juga sangat mirip. Anehnya lagi,
Tuan Hamid bisa juga merasakan denyut nadi si Hamid yang terhenti.
“Sudahlah, aku tak perlu pusing, yang pasti aku
bukan si Hamid. Aku belum mati. Aku masih hidup,” tukasnya, “
Saat Tuan Hamid melintas di tengah-tengah mereka, tak
seorang pun yang melirik ke arahnya. Mereka membuang pandangan bahkan
menunjukkan sikap aneh seperti tak pernah mengenalinya. Tuan Hamid benar-benar merasakan
asing saat berada di rumahnya sendiri.
- - - - -
Tuan Hamid meluncur ke kebun di balik bukit di belakang rumahnya. Dia tak peduli lagi dengan kesibukan
orang-orang yang berada di rumahya. Untuk apa memikirkan mereka. Toh, mereka pun berbuat sama tidak
memikirkannya.
Dari jauh, saat Tuan Hamid tiba di kebunnya, dia tercengang. Dia mendapati tanamannya telah
layu. Daun-daun hijau kini berubah menjadi kuning.
"Astaga.., apa yang terjadi ini? Mengapa
dengan tanamanku? tukasnya keheranan.
Seseorang muncul dari balik kebun dan terkejut bukan
kepalang melihat sosok Tuan Hamid berada di tengah-tengah kebun. Orang itu
pun tak henti beristighfar. Dengan gelagapan, dia terus berseru menyebut nama Tuan Hamid berulang-ulang. Lalu entah apa yang diucapkannya, Tuan Hamid tak lagi bisa mendengarnya. Suara orang itu berat dan
parau. Ia terlihat sangat ketakutan, lalu lari dengan terbirit-birit pulang ke
rumahnya.
Ada apa lagi ini? Semuanya terjadi begitu aneh.
Orang-orang asing selalu hadir dalam hidupnya secara tiba-tiba. Mereka itu
sosok-sosok yang tak biasa dan penuh misteri. Wajah-wajah pucat yang penuh
kecemasan dan ketakutan tampil di hadapannya.
Dalam keheranan, tiba-tiba sesuatu yang aneh
terjadi lagi. Semua tanaman Tuan Hamid mengering secara cepat dan mati. Batang-batang
dan dahan pepohonan mengerut serta daunnya berguguran. Tak lama kemudian tanah
tempatnya berpijak ikut berubah menjadi tandus. Kering berderai tak bisa
ditanami lagi. Tuan Hamid merasa ngeri dan beranjak meninggalkan
kebunnya.
“Sebaiknya aku kembali lagi ke rumah. Mungkin aku
bisa memperoleh jawaban atas keanehan yang terjadi ini. Semoga saja mereka
merasakan keanehan seperti yang kurasakan?” hematnya dalam hati,
Sesampainya di rumah, Pak Hamid melihat
orang-orang sudah semakin ramai dari sebelumnya. Kali ini mereka terlihat lebih
sibuk. Mereka bertukang, menggergaji, dan mengetam kayu dengan alat seadanya. Mungkin
mereka sedang membuat peti pemakaman untuk si Hamid. Pikir Tuan Hamid. Benar
saja, beberapa bilah papan untuk penyangga liang lahat bersandar bersama kayu
nisan di samping rumahnya.
Kecemasan dan keheranan Tuan Hamid kembali
merasuki pikirannya dan membuat ingatannya
timbul tenggelam. Ada kalanya dia begitu mengenali si Hamid dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki. Bahkan dia bisa melihat banyak kepalsuan yang terdapat
dalam diri si Hamid. Di lain sisi, ia pun sering tak dapat mengingat banyak hal
walaupun tentang dirinya sendiri. Pikirannya selalu melayang dan tidak dapat
fokus pada hal yang sekecil apa pun.
Tamu-tamu asing masih berdatangan.
Mereka duduk dan berdiri sesukanya di teras rumah, halaman, dan bahkan sampai
ke sudut ruangan di dalam rumah Tuan Hamid. Mereka sangat ramai dan
mengusik ketenangan Tuan Hamid.
Ini kemudian membuatnya hilang kesabaran.
Gerah dan panas ruangan membuatnya tak dapat hendak menahan marah. Emosinya memuncak secara tiba-tiba. Lalu Tuan Hamid
berteriak sekeras-kerasnya menyuruh semua orang segera pergi meninggalkan kediamannya.
Suaranya teramat keras hingga urat lehernya terlihat tegang.
Tapi, lagi-lagi umpatan dan makian Tuan
Hamid tidak diindahkan oleh mereka. Mereka berlagak tuli. Tuan Hamid semakin
emosi menghadapinya. Ia marah, sampai-sampai lidahnya terasa kelu. Mulutnya terkunci dan sulit hendak berucap. Tak
henti dia berteriak meminta tolong, tapi orang-orang itu terus tak peduli dan
membiarkannya dalam ketakutannya sendiri.
_ _ _ _ _
Keanehan demi keanehan terus saja dialami
oleh Tuan Hamid. Kali ini, sesuatu yang lain dan lebih menakutkan terjadi lagi
padanya. Entah mengapa, orang-orang yang memenuhi rumahnya itu, seketika saja berubah
wujud. Mereka menjadi sosok-sosok asing yang menyeramkan. Sorot mata mereka
yang dingin, menatap tajam padanya dengan
penuh kebencian.
Makhluk asing itu terlihat sangat
frustrasi dan menyimpan sejuta dendam padanya. Bukan kepalang takutnya, Tuan
Hamid melihat mereka yang mulai bergerak mendekatinya. Tubuhnya gemetar, langkahnya
berat terasa ditarik oleh makhluk asing itu. Tak lama ia pun roboh dan tersungkur di tanah.
Dari segala penjuru mereka hadir memenuhi halaman dan ruangan di
rumahnya. Wajah dan tubuh mereka berlumuran darah. Jumlahnya kini semakin
banyak. Bahkan ada yang baru bangkit dari dalam tanah di sekitar pekuburan
beberapa meter dari rumahnya. Terdengar pula oleh Tuan Hamid suara raungan,
lolongan, dan tangisan menyayat hati keluar dari mulut-mulut makhluk asing itu.
Tak salah lagi. Mereka semua adalah vampir
yang ada dalam film-film barat itu. Tuan Hamid mencoba mengumpulkan sisa
tenaganya untuk melawan. Ia berusaha bangkit dan berteriak meminta tolong. Tetapi tak ada siapa
yang datang menolongnya. Tenaganya habis dan suaranya semakin hilang mendekam.
Ditelan suara raungan para vampir.
Kematian yang sesungguhnya
benar-benar datang kepada Tuan Hamid. Ia harus merasakan kembali pedihnya kematian
sebagaimana yang pernah ia rasakan. Tapi kali ini, cengkeraman kuku dan gigitan
taring sang vampir yang akan menembusi batang lehernya. Mereka semua adalah
mayat-mayat penasaran yang bangkit dari alam kubur. Mereka haus darah dan
sangat kelaparan.
“Ah, ini takkan kubiarkan. Aku tak mau
mati,” Tuan Hamid menyemangati dirinya untuk tetap hidup.
Tuan Hamid berkali-kali mencoba
bangkit. tapi tetap tak bisa. Tak ada jalan baginya untuk dapat bebas dari
kepungan vampir yang jumlahnya sangat banyak itu. Sekujur tubuhnya kini sudah digerayangi
tangan-tangan dingin mati. Sekejap saja, ia telah merasakan ke dua tangannya
putus. Kulitnya tercabik-cabik oleh gigitan taring-taring vampir yang tajam itu.
Terakhir yang dialaminya, batang lehernya ditembusi oleh taring vampir yang
sangat tajam. Vampir itu mengisap seluruh darah di tubuhnya.
Ia hanya pasrah, diam, dan menikmati
saja rasa sakit atas sakaratul maut yang datang tiba-tiba itu. Syukur, dia masih
sempat berseru berkali-kali dengan menyebut nama Tuhan. Mengharap pertolongan
dari sang Penolong yang sejati itu.
Dalam hatinya dia berbisik, demi dapat
melerai rasa sakit yang dialaminya. “Puaskanlah apa yang kalian inginkan dengan
kematianku. Kematian hanyalah asbab. Semua sudah digariskan oleh-Nya. Aku sudah
tidak takut lagi. Sekalipun ragaku jadi debu setelah kematian ini. Aku tak
perduli. Toh, kematian yang
sesungguhnya adalah tentang perjumpaanku dengan sang Khaliq. Bukan tentang
perpisahanku dengan dunia yang fana. Hidup dan mati selamanya berada di tangan
Rabbul ‘Aalamiin. Tuhan yang Maha Menciptakan dan menghancurkan,”
Benar saja, Tuan Hamid tidak lagi merasakan
sakitnya kematian setelah sugesti yang keluar dari mulutnya sendiri. Ia dengan
tenang melewati saat-saat terakhir yang paling mengerikan itu. Sementara itu, makhluk-makhluk
yang kejam itu mengupil serta melatah sisa-sisa jangat ditubuhnya.
Kini ia sudah semakin yakin jika
umurnya akan berhenti di sini. Ia akan benar-benar meninggal. Untuk kembali
lagi pun tidak mungkin. “Sudahlah, aku tak akan pernah lagi menoleh ke belakang
dan memikir dunia ini.” pikirnya.
“Dunia itu penuh tipu muslihat. Banyak
orang yang tersesat hanya karena berlomba-lomba mengejar kesenangan dunia.
Mereka memperturutkan hawa nafsunya. Kesenangan sesaat yang dikejar itu, tak
lain hanyalah akan memenjarakan dan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan itu.
Bukankah perjalanan akhirat lebih utama untuk mencapai sebuah keabadian hakiki,”
pikirnya yang masih segar dalam tubuhnya yang mulai hancur.
- - - -
Suasana mencekam kini telah hilang.
Makhluk-makhluk asing juga menghilang secara tiba-tiba, entah ke mana? Setelah hajatnya berhasil,
mereka lenyap tak meninggalkan jejak.
Tuan Hamid merasakan dirinya kini terbaring di
tengah rumahnya. Ia disemayamkan selama beberapa jam menunggu masa
penguburannya tiba. Ia dibaringkan persis
di tempat si Hamid yang sebelumnya sudah terbujur kaku di tengah rumahnya itu
Benar Tuan Hamid telah mati. Tapi ia
masih dapat melihat kaum kerabat yang datang melayatnya. Rohnya masih belum terlalu
jauh terpisah dari jasadnya. Dia heran,
ke mana mayat si Hamid perginya? Bukankah ia tadi terbaring di sini dan
diratapi oleh seluruh keluarganya? Sekarang tak lain yang ada hanyalah satu-satunya
mayat Tuan Hamid sendiri. Lalu apakah jenazah si Hamid sudah dikuburkan?
Ia masih melirik kian ke mari sejauh
matanya dapat melihat di ruangan itu. Tapi tak terlihat si Hamid yang ingin
dicarinya. Sampai akhirnya ia menatap pada secarik kertas putih yang tertempel tepat
di dinding rumah yang berhadapan dengannya terbaring. Ada tulisan yang cukup jelas
dapat dibaca semua orang. Di situ tertulis tentang namanya yang telah meninggal
dunia.
Baru Tuan Hamid sadar bahwa mayat
yang disangkakannya si Hamid itu ternyata adalah dirinya sendiri. Kala itu, ia mengira
dirinya masih hidup dan beraktivitas sebagaimana biasanya. Ia masih sempat
mendatangi beberapa tempat yang biasa dikunjunginya setiap hari.
Beginikah keadaannya orang yang
sudah mati? Tiada lagi memiliki daya upaya sedikitpun walau hasrat masih
menggebu. Di sekeliling tampak tidak lagi bersahabat. Bahkan orang yang dekat dengannya, tidak mampu
menhentikan kematiannya.
Sungguh aneh perasaannya. Bagaimana
mungkin ia tidak bisa mengenal kematian dirinya sendiri? Setelah beberapa
kejadian, akhirnya dia baru tahu jika dia sebenarnya sudah mati.
Masih dalam masa berkabung di
rumahnya, tiba-tiba seseorang berbicara setengah berteriak kepada lawan
bicaranya di ujung talian jaringan
ponsel. Beberapa orang yang berdekatan duduk dengannya berbisik padanya untuk
memelankan suara.
“Tuan Hamid meninggal. Ya, semalam dia
baik-baik saja. Baru tahu pagi ini dia sudah tidak ada,” sebuah pembicaraan menggunakan
ponsel dari seseorang yang duduk di luar rumah terdengar sampai ke dalam.
Lalu entah apa lagi yang mereka
bicarakan, tetapi terdengar orang itu tertawa keras melalui ponselnya.
Pembicaraan mereka terlalu lantang
dan terdengar tak beretika. “Hmm, sungguh keterlaluan. Manusia selagi
masih diberi kekuatan, selalu saja berbicara seenaknya. Selagi nyawa belum di
pangkal tenggorokan, orang memang berani menertawakan kematian,” serunya masih
jengkel.
Walaupun sadar telah mati, tapi
perasaan kesal dan marah belum juga sekonyong-konyong pergi jauh dari jasadnya.
“Perkara mati itu kehendak Allah,
bukan maunya manusia. Umur tiada yang tahu. Tapi kita tidak boleh sembarang bicara. Seakan
mati itu masih lama lagi. Lalu berbuat apa saja sesuka hati. Jika tumbuh malang
di dalam diri, kita tak akan dapat berhindar darinya. Berdiri atau duduk saja,
orang pun bisa mati,” umpat Tuan Hamid.
Kini, Tuan Hamid sudah mati. Alamnya
sudah berbeda. Ia tak lagi bisa bercengkerama dengan siapa pun juga. Sekalipun
keluarganya sendiri.
Pindah alam, rasanya berada di balik
dinding saja. Ia masih melihat orang-orang beraktivitas sebagaimana ia pernah mengerjakannya.
Aneh terasa dalam pikirannya. Mengapa manusia di dunia tidak bisa melihat
kehidupan orang mati? sementara dirinya sendiri bisa melihat kehidupannya
sewaktu di dunia.
Itulah ragam kehidupan dari sang
Pencipta. Seiring waktu yang terus berjalan, manusia akan mendatangi sang Pencipta.
Membawa semua amal perbuatan yang mesti dipertanggungjawabkan.
Jika semasa di dunia, manusia banyak
melakukan amal kebaikan, itulah yang akan menjadi ladang kebaikan baginya
ketika berada di alam kubur. Tapi jika ada keburukan yang telah ia perbuat,
pasti ia akan mendapat balasan yang sama nantinya saat berada di akhirat.
- - - - -
Orang-orang yang bertakziah. ke
rumah Tuan Hamid sangat ramai. Mereka tak lain adalah kaum kerabat dan handai
taulannya. Banyak juga orang yang tak dikenal berdatangan sebagai hendak
memberi penghormatan terakhir padanya. Ini karena pergaulan Tuan Hamid yang
terbilang baik di kampungnya. Sehingga
banyak orang yang simpati saat mengetahui kepergiannya.
Bagai hilang ingatan, kepasrahan
Tuan Hamid untuk menerima kematiannya belum sepenuhnya tulus. Dia bolak balik
berpikir untuk kembali hidup. Dia juga kembali meragukan akan kematiannya
sendiri. Ditariknya nafas dalam-dalam. Sehingga ia merasakan hal itu. Udara masih
mengalir dalam darahnya. Namun tubuhnya benar-benar lunglai tak bisa
digerakkan. Matanya pun tak mampu dibukanya. Tiba-tiba rasa sakit dari tubuhnya,
mulai terasa menyerang kembali. Seketika darahnya kembali membeku..
“Ya, Allah! Mengapa Engkau tidak
memberitahuku jika akan memanggilku secepat ini?” protes Tuan Hamid.. Tapi
tiada siapa yang bisa menjawabnya. Semua itu sudah terlambat. Yang mati tak
akan hidup kembali. Allah tentu sudah banyak memberinya isyarat tentang
kematiannya. Hanya dia saja yang tak pernah menghiraukannya.
Tuan Hamid tak siap menghadapi kematiannya
sendiri karena ia merasa tak memiliki
bekal yang cukup. Terbayang olehnya beratnya siksa kubur yang bakal
diterimanya nanti.
Rasa penyesalannya bertubi-tubi datang
menghinggapi pikirannya. Ia teringat ketika berada di dunia, dirinya sangat
kurang dalam beramal dan bersedekah. Padahal, banyak jalan agar ia bisa
melakukan hal itu. Tabungannya untuk akhirat terasa sangat sedikit dan tak
memadai untuk menebus kesalahan dan dosanya selama di dunia.
Ia tambah menyesal dan kembali melakukan
protes kepada Tuhan. Mengapa Tuhan tidak mengizinkannya hidup sampai datang
masa tuanya? Jka begini keadaannya, jelas ia tak bisa mengumpulkan perbekalan
akhiratnya sebanyak-banyaknya.
Kematiannya sungguh tak wajar. Ia tak
menyangka, demi menyantap kari kambing di acara kenduri
tetangganya itu, ia harus menutup usia. Ia terpaksa meninggalkan sejuta
kenangan indah bersama keluarganya. Menemui alam baru dalam kesunyian dan
kesendirian.
Sungguh kematiannya dirasakannya
sia-sia. Mengapa tidak gugur di medan tempur saja? Atau mati karena mencari
nafkah keluarga di tengah laut? Yang pasti, ia ingin mati dalam perjuangan.
Namun apalah daya, keinginannya itu
tidak dapat terwujud. Takdir berkehendak lain. Hanya demi kesenangan kecil, akhirnya
ia harus menutup lembaran harinya di dalam dunia ini. Jika diizinkan untuk
hidup kembali, ia pasti tak akan melakukan pekerjaan bodoh itu kembali.
Mayat Tuan Hamid sudah lama berada
di tengah rumah. Tiba pula kini saatnya, orang-orang yang datang hendak menyelenggarakan
penguburannya. Kain kafan sudah
dipotong, air mandi bercampur harum bunga pun sudah di sediakan. Begitu pula
papan penutup liang lahat dan batu nisan sudah beres semuanya dikerjakan.
Perlahan-lahan tubuh Tuan Hamid
diangkut ke tempat pemandian. Dia mulai dimandikan dengan air bunga tujuh rupa.
Dua anak lelakinya yang baru mulai meningkat remaja ikut memandikannya. Tuan
Hamid melihat semua yang mereka lakukan. Sesekali terlihat pula olehnya isak
tangis yang tertahan dari anak-anaknya saat membelai lembut tubuhnya. Di situlah
tumpah rasa kasih dan sayang sang anak, serta terbayang kebaikan ayah mereka yang
tak pernah merasa lelah untuk menafkahi mereka.
Namun bagi Tuan Hamid, semua itu
sudah selesai. Dunianya hanya sementara dan kini sudah pula berakhir. Sejuta tangis
dan air mata tidak akan menyelesaikan persoalan kematiannya. Ini sudah janji Allah
dan menjadi sunnatullah. Yang hidup pasti akan menemuii ajalnya. Tinggal
sekarang bagaimana mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di hadapan sang Pencipta.
Selesai dimandikan, Tuan Hamid
kembali dibaringkan di tengah rumah untuk dilekatkan kain kafan. Semua mata
memandang ke arahnya. Mereka berdiri berdesakan memenuhi ruangan. Ada pula yang
melongokkan kepala melalui pintu dan jendela agar dapat melihatnya untuk kali
terakhir. Ia merasa malu juga karena auratnya sedikit terbuka dan dilihat
banyak orang.
Di antara para pelayat, ada yang
terbawa suasana dan ikut menangis. Namun mereka tidak menangisi Tuan Hamid yang
telah pergi. Tidak pula tentang bagaimana Tuan Hamid akan menjawab pertanyaan
malaikat penjaga kubur. Yang mereka jadi ikut terbawa suasana adalah tentang aura
kesedihan yang terpancar pada raut wajah anak-anak dan istri Tuan Hamid. Kesedihan
ditinggal orang tersayang memangvsangat berat. Apa lagi dia adalah seorang ayah
yang selama ini sangat dekat dan menjadi tulang punggung keluarga.
Selesai dikafani, ahli keluarga
almarhum Tuan Hamid bergantian mencium keningnya untuk kali yang terakhir. Di
situ pecah tangis kesedihan. Lalu beberapa orang mencegah keluarganya dari menitikkan air mata. Itu dapat menjadi beban
siksa kubur bagi almarhum. Akhirnya keluarga Tuan Hamid menurut walau kesedihan
masih tidak dapat mereka sembunyikan.
Beberapa ritual penyelenggaraan
jenazah Tuan Hamid sudah dilakukan. Kini mereka bersiap-siap untuk mengantar
jenazah Tuan Hamid ke pemakaman.
Saat mereka mengusung jasad Tuan
Hamid ke perkuburan, Tuan Hamid hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat
sesuatu. Dia ingin berteriak
sekeras-kerasnya agar mereka tidak menurunkannya ke dalam tanah.
Ini sesuatu yang paling menakutkan.
Tempat yang kecil dan gelap. Terbayang olehnya akan kesendirian. Hilangnya orang-orang
tersayang yang selalu ada dan menemani dalam suka dan duka. Tapi kali ini ia
akan kesunyian dalam kesendiriran. Tak ada lagi teman. Tak ada lagi sahabat
atau orang-orang yang usil ingin menggodanya. Tak ada pula rasa ingin membenci,
marah, atau bahagia. Tinggallah ia sendiri dalam kedinginan dan kegelapan.
Sampai masanya tiba, semua orang akan dikumpulkan demi sebuah perhitungan hari akhir.
- - - - -
Tiba saat yang tak bisa disurutkan
lagi. Tuan Hamid di susul masuk ke liang lahat. Dia memberontak. Tapi tenaganya terkunci tak
dapat bergerak.. Dia berusaha bernapas, menghirup udara dalam-dalam. Suara
mengorok dari mulutnya, terdengar di telinganya sendiri.
“Aku belum mau mati. Aku tak mau
dikubur. Aku belum mati..!” pekik Tuan Hamid keras masuk ke liang telinganya
sendiri.
Tetap tak ingin dikubur, Tuan Hamid terus mengupayakan
agar dapat menggerakkan kaki dan tangan sedikit demi sedikit. Ia berharap agar
orang-orang itu menghentikan niat mereka ingin menguburkannya hidup-hidup. Namun
sebaliknya, mereka berkeras hendak membenamkan Tuan Hamid ke dalam liang lahat.
Mendapati Tuan Hamid tidak menurut, Para
pengubur itu menjadi kasar dan beringas. Tiba-tiba pula wajah mereka berubah
berbulu dan menakutkan. Daun telinga mereka menjadi lebar. Begitu pula lidah mereka
seketika menjuntai hingga ke tanah.
Tuan Hamid terkejut dan bertambah
takut. Ia meyakini jika para pengubur
itu sebenarnya adalah bukan manusia. Mereka adalah sekawanan iblis. Seperti
sedang kerasukan, mereka mencekik bahkan
menginjak-injak tubuh Tuan Hamid. Tuan Hamid meronta. Ia
memanggil-manggil istri dan anak-anaknya. Tapi tetap tidak ada yang
menggubrisnya.
“Tolong.., tolong..,” seru Tuan
Hamid berkali-kali.
Tak lama, suara gaduh seperti orang
menabuh beduk membuat para pengubur
berlompatan ke luar dari dalam kubur.
Duuk..,
duuk.., duuk!
suara beduk bertalu-talu memecah keheningan subuh hari.
“Ini subuhkah?” Tuan Hamid bertanya
untuk meyakinkan dirinya,
”Ah, benar, ini pasti subuh. Aku
mendengarnya. Aku belum mati..,” sahutnya yakin.
Mendengar suara beduk, para pengubur yang
berubah wujud itu terlihat menyesal. Mereka kecewa. Mereka sangat sakit
mendengarnya hingga menutup telinga mereka yang panjang dan lebar itu.
Tak lama setelah bunyi beduk,
terdengar pula lantunan suara azan mengagungkan asma-Nya. Allahu Akbar… Allahu Akbar. Suara itu menggema dalam keheningan. Para
pengubur semakin kepanasan. Mereka gundah karena tak dapat melampiaskan dendamnya.
Dalam kepayahan, mereka terus berusaha untuk mendekati Tuan Hamid.
Beberapa kali mereka bolak balik keluar
masuk ke dalam kubur. Mereka mencekik leher
Tuan Hamid. Tuan Hamid bertakbir.
Tak lama ia melihat para pengubur itu hangus terbakar laksana daun kering yang dijilat api. Dia
makhluk yang mengerikan dengan lidah menjulur ke tanah. Telinga mereka panjang
dan lebar sehingga menutupi sebagian wajah mereka. Bersama itu pula, terdengar seseorang
mengumandangkan azan masuk liang kubur lalu menyelinap ke telinganya.
Dia menyimaknya untuk memastikan
pendengarannya. Benar saja, itu adalah suara azan dari surau di dekat rumahnya.
Beberapa kalimat suci mengagungkan nama-Nya, mulai terasa meringankan jalan
napasnya. Tuan Hamid bergidik. Ia sadar dan dan berupaya untuk membuka kelopak
matanya. Ada bayang-bayang kelam hari. terekam dalam penglihatannya.
“Ini subuhkah?” tanya Tuan Hamid tak
berhenti. Ia juga masih mengatur jalan napasnya yang tersengal. Syukur karena perlahan-lahan
ia mulai merasa siuman. Terasa pula darahnya
kembali mengalir dari setiap urat nadinya. Seiring dengan itu, peristiwa penting perlahan-lahan mulai masuk
dalam ingatannya. Ia terkenang tentang saat terakhir berada di rumah
tetangganya. Menyantap nikmatnya gulai
kari kambing.
Ia membuka kelopak matanya. Melihat
pemandangan yang sudah sangat lazim. Ada sebuah bilik kecil berdinding kayu.
Duduk pula bersimpuh di sisinya seorang wanita paruh baya yang sudah sangat lama
dikenalinya. Dia itu adalah istrinya.
“Tuan… bangun, Tuan!” seru istrinya
membangunkan Tuan Hamid “ Tuan sedang bermimpi buruk.”
Tuan Hamid mengigau. Tubuhnya berkeringat membasahi
sekujur tubuhnya.
“Duduklah dan bawa beristighfar, Tuan,”
kata sang istrinya lembut.
“Astaghfirullah al ‘azhiim..,” ucap
Tuan Hamid berkali-kali.
“Bangunlah! Sekarang sudah subuh,
Tuan,” lanjut istrinya lagi.
Tuan Hamid duduk. Perlahan ia mulai
sadar. Tapi mimpi ngeri yang baru dialaminya masih membekas dipikirannya. Rasa
sakit di sekujur tubuhnya belum serta merta hilang. Tulangnya terasa ngilu. tengkuknya
berat dan persendiannya pun terasa pegal. Ia berdoa sejenak sebelum beranjak ke
kamar mandi mengambil wudu’. Setelah merasa stabil, ia bergegas berangkat ke
surau untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah.
CERITA TUAN HAMID BATAL MASUK SYURGA
"Engkau sudah sampai Hamid. Apa
kabar?" sapa malaikat kepada Tuan Hamid.
Tuan Hamid sangat bahagia saat mendengar
malaikat mulai menyapanya. Tidak masalah baginya walau ia dipanggil nama saja
oleh para malaikat. Di dalam dunia, orang banyak yang menyanjungnya dan
menyapanya dengan sebutan Tuan Hamid.
Dipanggil oleh malaikat adalah saat yang paling
ditunggu-tunggu. Ini adalah waktu penentuan untuk memasuki pintu-pintu
keridhaan-Nya. Semula ia mengira bahwa malaikat akan mencercanya dengan
pertanyaan yang keras. Ternyata tidak. Rupanya malaikat adalah makhluk Tuhan
yang lemah lembut.
Kini Tuan Hamid menjadi yakin, segala amalannya
akan diganjar pahala oleh Tuhan. Saat di dunia, ia tak pernah absen mendatangi
surau yang berada di dekat rumahnya. Kesempatan ini pun tidak disia-siakan
olehnya untuk dijadikan bukti jika ia adalah orang baik.
Tuan Hamid bangga. Ia bagai telah mencium bau
syurga. Sambil melirik ke sebuah gerbang yang berada di seberang pelintasan, ia
pun tak ragu menjawab pertanyaan para malaikat. Semuanya dilakukannya dengan
santai.
Sudah tidak sabar rasanya hendak memasuki
gerbang itu, pikir Tuan Hamid. Terpampang tulisan yang sangat besar
"Selamat Datang para Penghuni Syurga". Angin syurga pun mulai terasa
berhembus menyentuh tubuhnya. Aroma wewangian tetumbuhan dan buah-buahan syurga
serta gemercik air sungai yang damai mengalir perlahan terasa sangat
membangkitkan gairah Tuan Hamid untuk bisa segera menyentuhnya.
"Bisakah aku memasuki syurga itu sekarang
wahai para Malaikat?" tanya Tuan Hamid untuk sekedar berbasa basi.
Makhluk Allah yang lugu itu tampak tersenyum
mendengarnya. "Sabar," sahutnya.
Sabar.., tentang hal itu tidak masalah bagi
Tuan Hamid. Toh, syurga sudah sangat
dekat. Ia pun yakin akan banyak kebaikan yang telah dilakukannya. Sebentar lagi
ia akan menikmati hasil dari semua amalan terpuji yang dilakukannya selama di
dunia. Begitulah sahutnya dalam hati.
Malaikat mulai memeriksa catatan amal perbuatan
Tuan Hamid selama berada di dunia. Tampaknya nilainya bagus, Tuan Hamid aman.
Diliriknya Tuan Hamid mulai dari telapak kaki hingga ke ubun-ubun. Sebentar
makhluk Tuhan itu manggut-manggut seperti tidak mempercayainya. Sejurus
kemudian, barulah ia menyerahkan buku catatan amal Tuan Hamid dari tangan kanannya.
Tuan Hamid tersenyum. Hasil memang tak pernah
menghianati usaha, pikirnya dalam hati. Sambil mengucapkan syukur, ia terus
mengenang indahnya saat berada dalam syurga nanti.
Sementara itu, di belakang Tuan Hamid masih
panjang antrean manusia yang menunggu giliran dan menanti pertanyaan para
malaikat. Mereka berdesak-desakan. Di antaranya banyak yang terlihat gusar dan
kelam kabut. Mereka juga ada yang meronta-ronta hingga melompat-lompat
kepanasan. Sampai-sampai ada yang terjatuh ke tebing yang terletak di sisi
kanan dan kiri mereka.
Inilah saatnya manusia itu 'nafsi-nafsi'. Masing-masing hanya memikirkan untung dirinya
sendiri. Tak seorang pun yang mau memikirkan orang lain. Walaupun itu adalah
keluarganya sendiri. Semua merasa lebih penting memikirkan nasib dan
menyelamatkan dirinya saja. Tepat di hadapan mereka, hanya ada dua kepastian
yaitu masuk ke dalam syurga atau pun neraka?
Lama tidak kunjung disuruh masuk, Tuan Hamid
mulai gerah. Lalu ia protes kepada malaikat. Mengapa ia tak kunjung disuruh
masuk? Sementara beberapa yang lain berada di belakangnya mulai dipanggil dan
disuruh masuk tanpa hisab.
"Lho, kenapa mereka diperkenankan masuk?
" tanya Tuan Hamid heran.
"Sebentar, Hamid. Mereka itu para Syuhada.
Mereka mati syahid. Mereka itu mendapat prioritas utama dari Tuhan." jawab
malaikat.
Tidak lama kemudian, masuk lagi serombongan
orang dengan menggunakan kereta cahaya. Pakaian mereka serba putih. Tuan Hamid
hanya terpelongo memandangnya. Siapa lagikah gerangan mereka itu semua? Mereka
bergerak melintasi jembatan shirath
dengan mulus. Di raut wajah mereka turut memancarkan cahaya ketulusan hati dan
budi mereka.
Sejurus kemudian, ia pun melihat rombongan yang
lain, yaitu orang-orang yang menyeberang jembatan dengan berbagai
keadaan. Ada yang menyeberanginya secepat kilat, kencang seperti angin, terbang
bebas bagaikan burung, atau bagaikan kuda yang bergerak cepat. Mereka semua
masuk dengan enteng, tanpa ada banyak rintangan.
Tiba-tiba malaikat berseru, "Sebelum
masuk, engkau masih perlu menyelesaikan beberapa perhitungan lagi. Dan.., itu
ada yang ingin bertemu denganmu," tambahnya.
Beberapa orang muncul. Tuan Hamid sempat lupa
pada mereka. Ia baru sadar setelah malaikat memperkenalkan mereka
padanya.Mereka adalah istri dan anak-anak Tuan Hamid. Mereka datang untuk
menuntut padanya.
Kali ini, terasa langkah Tuan Hamid mulai
terganjal. Urusannya jadi makin panjang. Beberapa pertanyaan baru pun harus
diselesaikan segera olehnya. Di depan keluarganya, Tuan Hamid mulai di cecar
dengan pertanyaan-pertanyaan yang berat.
"Benarkah engkau saat di dunia sangat
dihormati karena ketaatanmu?" tanya malaikat.
"Benar, malaikat," jawabnya.
"Benarkah engkau saat di dunia dipandang
sebagai orang yang ahli ibadah?" tanya malaikat lagi.
"Benar," jawabnya sangat yakin,
"Saya lebih mengutamakan ibadah dari pekerjaan saya."
"Benarkah engkau tidak merasa bosan
mengajak orang-orang di kampungmu untuk beribadah?" tambahnya.
"Wah, sangat benar."
Tuan Hamid sangat gembira dengan pertanyaan
demi pertanyaan yang diajukan oleh para malaikat. Ia menganggap para malaikat
memang bijak menanyakan hal-hal yang baik tentangnya.
"Benarkah engkau saat di dunia tidak
menghiraukan keluargamu?" tanya malaikat berikutnya.
Tuan Hamid terhenyak. Pertanyaan seperti apa
ini? Mana mungkin ia tidak menghiraukan keluarganya sendiri. Makan minum,
pakaian, dan lain sebagainya sudah dipenuhinya.
"Itu tidak benar, Malaikat, "
jawabnya sedikit kesal.
"Benarkah engkau shalat dan beramal karena
takut masuk neraka?" tanyanya lagi.
"Ya, malaikat. Siapa juga yang berani
masuk neraka?" jawab Tuan Hamid tegas.
"Neraka adalah makhluk. Takutlah hanya
kepada zat yang menciptakan makhluk itu, yaitu Allah." jelas malaikat.
Tuan Hamid terdiam. Ia terjebak dalam
jawabannya sendiri. Ia sebenarnya sudah mengerti bahwa tiada Tuhan yang wajib
diagungkan kecuali Allah.
"Adakah engkau mengingatkan anak-anakmu
untuk shalat?" tanyanya lagi.
"Sudah saya suruh dan peringatkan mereka
sebelum berangkat ke surau. Tapi saat sedang shalat, saya tak tahu lagi.
Bagaimana saya bisa melihat ke belakang tentang keberadannya jika saya sedang
shalat?" kata Tuan Hamid beralasan.
"Engkau tidak bersungguh-sungguh dalam
mendidik keluargamu. Sebaliknya, engkau berbuat seakan-akan telah banyak
berkorban. Engkau pun sempat menyalahkan takdir atas kesalahanmu mendidik
mereka." terang malaikat.
Tuan Hamid kembali terdiam. Ia mulai merasakan
hidup yang dulu dijalaninya penuh kerugian. Ia menyesali kelalaiannya sendiri.
Jika boleh meminta, ia ingin kembali ke dunia dan menebus segalanya.
Malaikat pun tak luput mengingatkannya akan firman Allah dalam surat Al 'Ashr. Surat ini
mengabarkan tentang manusia yang berada dalam kerugian. Kecuali mereka yang
selalu beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Tuan Hamid mulai lelah. Ia terus diberondong
oleh pertanyaan-pertanyaan yang menjebaknya.
"Di hadapanmu saat ini berdiri istri dan
anak-anakmu. Bagaimana engkau bisa berjalan sendiri tanpa membawa mereka
bersamamu? Mereka kau tinggalkan. Sedangkan engkau mengharap, beroleh syurga
yang luas untuk kau tempati."
"Apa salah saya berharap syurga itu?
Bukankah ibadah saya sangat baik selama di dunia?" protes Tuan Hamid
kemudian.
"Syurga tidak dapat diraih karena amal
ibadahmu. Syurga itu hanya bisa diperoleh karena keridhaan Ilahi." jawab
malaikat.
"Lalu, seberapa besar dosa saya pada
keluarga ini, setelah saya menghabiskan masa tua bersama mereka?"
tanyanya.
"Allah memerintahkan agar engkau menjaga
dirimu dan keluargamu dari api neraka. Sekalipun engkau ada bersama mereka,
tetapi engkau menjaga mereka sekadarnya. Engkau lebih sering mengabaikan
mereka. Engkau mengira dengan ketataanmu sudah cukup dapat diikuti oleh mereka.
Engkau tidak mengajari mereka dan tidak pula memperbaiki kesilapan dan
kekurangan mereka. Mereka beramal dan beribadah, namun kau biarkan mereka
berjalan sendiri dengan cara mereka masing-masing. Akhirnya mereka hanyut
sangat jauh dan amal ibadah mereka tidak lagi sesuai dengan tuntunan yang
diajarkan oleh Nabimu Shallallahu 'alaihi." tukasnya.
"Bukankah telah diperingatkan juga padamu
sebagaimana sabda Rasul bahwa sesungguhnya setiap orang adalah pemimpin dan
akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang suami adalah
pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang
dipimpinnya." Tambahnya
Tuan Hamid terjebak. Ia tak lagi merasa gembira
seperti sedia kala. Ia sadar selama ini ia memang lebih mementingkan dirinya
sendiri dalam hal beribadah dibandingkan mementingkan keluarganya. Semua
rekaman tentang dirinya yang banyak mengabaikan keluarga ditunjukkan padanya.
Tak ada satu pun yang luput dan tersembunyi. Ia diingatkan dengan banyak hal
tentang kesalahan dan dosanya.
Berkali-kali Tuan Hamid mencoba membela diri.
Namun sayang, malaikat tidak lagi mau mendengar apa pun alasan yang
dikemukakannya. Ini adalah peradilan maha tinggi. Hanya perlu menjawab ya atau
tidak. Semua argumennya hanyalah sebuah pembelaan yang tak berdalil. Tidak ada
pembenaran sekecil apa pun dari sebuah kesalahan yang pernah dilakukannya.
Sebaliknya, ia harus menerima balasan dari setiap perbuatan baik atau
buruk yang dilakukannya selama di dunia.
"Dalam hati kecilmu terbersit sifat riya,
yaitu banyak ibadah dan amalan yang engkau lalukan hanyalah mengharapkan
sanjungan dan ingin dipuji oleh orang lain. Asbab itulah yang menggugurkan
semua amalanmu dan engkau akan tercampak ke neraka," jelas malaikat.
Tuan Hamid sangat menyesal. Ia beristighfar dan
meminta ampun kepada Tuhan. Tangisnya terdengar lantang dan mengejutkan
penduduk di Yaumil Akhir itu. Tak urung malaikat penjaga pintu neraka pun
datang dan hendak menyeret Tuan Hamid. Tapi, istri dan anak-anak Tuan Hamid
segera menghadangnya. Mereka buru-buru memeluk Tuan Hamid.
Terjadi kepanikan yang sangat besar. Keringat
Tuan Hamid mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya. Nafasnya tersengal dan
tenggorokannya terasa amat perih. Ia dicekik oleh tangan-tangan kekar sang
Malaikat. Tampaknya juga, pembelaan istri dan anak-anaknya tak dapat
menghentikan niat para malaikat yang kasar itu.
Dari balik kepanikan itu, terdengar pula di
telinga Tuan Hamid akan sahutan berulang-ulang memanggil dirinya. Ia sangat
hafal dengan suara-suara yang selalu menggugah jiwanya selama ini. Mereka
adalah orang-orang yang selalu setia bersamanya. Dibukanya mata perlahan-lahan
walaupun terasa amat berat. Dilihatnya sosok-sosok yang selamanya hadir di
dekatnya itu. Mereka tak lain adalah istri dan anak-anaknya.
Tapi suasananya sangat berbeda. Ini bukan hari
akhir sebagaimana yang sedang dialaminya saat ini. Ada bilik kecil tempatnya
menguraikan rasa lelah. Kamar yang telah dihuninya selama ia bersama istrinya.
Dalam suasana keharuan yang sangat dalam, ia ditangisi oleh orang-orang yang
tersayang di sekelilingnya.
Seketika saja
ia terjaga dari mimpi buruknya. Istri dan anak-anaknya yang khawatir
terhadap dirinya tergopoh-gopoh membangunkannya dari tidur. Sebelumnya mereka
mengira telah terjadi sesuatu yang sangat tidak mereka inginkan terhadap Tuan
Hamid. Mereka belum mau kehilangan Tuan Hamid. Tuan Hamid adalah tulang
punggung dalam keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar