MENJAGA ASA DI TENGAH WABAH CORONA
Dalam
menyikapi permasalahan yang besar melanda seluruh dunia akhir-akhir ini, betapa
seluruh manusia harus ikut ‘berperang’ melawan virus covid 19 atau yang lebih
dikenal sebagai virus corona. Hendaknya ini selalu disikapi dengan baik. Gonjang
ganjing tentang siapa dan bagaimana memerangi wabah penyakit yang mematikan
ini, tak lain hanyalah semakin membuat kita mudah dirong-rong dan dijangkiti oleh
bibit penyakit tersebut. Kita hanya sibuk dengan menyalahkan orang lain. Egoisme
mestilah diturunkan, walau banyak sekali perbedaan pendapat yang berakibat seseorang
harus mengorbankan kepentingan pribadinya.
Dalam hal ini, bukan saatnya kita mengatakan
siapa yang benar dan salah, atau siapa yang peduli dan tidak.
Berkenaan
dengan ‘perang’ yang dimaksud, ini bukan pula perang frontal (saling
berhadapan), di mana manusia bisa melihat musuhnya dengan jelas. Bahkan musuh seperti tidak pernah
mengatur strategi, sehingga kita pun tidak dapat membaca strategi perang apa
yang dapat menyergapnya dengan mudah.
Saat
ini, kita sebaiknya mengikuti arahan dari semua pihak yang memiliki kewenangan,
dalam mengantisipasi penyebaran virus
secara meluas dan cepat. Kita tidak memiliki waktu yang banyak untuk terus
berdebat tentang bagaimana virus ini muncul. Saat musuh sudah di depan mata, bergandeng
bahu dan merapatkan barisan untuk melawan adalah pilihan utama yang mesti
dilakukan.
Kita
semua adalah pejuang. Apa pun latar belakang kita saat ini, tentu kita memiliki
banyak perananan bagi menghentikan penyebaran wabah ini. Para pejuang di garda
terdepan adalah orang yang mempertaruhkan jiwanya demi keselamatan ribuan bahkan
jutaan manusia. Di luar sana, berapa banyak orang yang dengan tulus melakukan
berbagai aksi sosial demi menghentikan penyebaran wabah ini. Di antara mereka banyak
yang menyumbangkan tenaga dan pikiran, bahkan nyawa sekalipun. Tapi mereka
tidak ingin dipandang, karena mereka adalah pejuang.
Oleh
karenanya, apa yang tidak dapat kita lakukan, jika setiap usaha yang tanpa
pamrih ini adalah perjuangan. Kita tidak hanya menjadi bagian yang dapat menyelamatkan
banyak jiwa bagi orang-orang yang tidak kita kenal. Namun di antara mereka, bisa
jadi itu adalah saudara atau keluarga kita. Andainya setiap kita berbicara menurut hati
nurani, inilah saatnya kita akan membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang
besar dan bersatu.
Sang
Khaliq telah menurunkan banyak ujian-Nya dalam berbagai cara. Lalu selama itu,
kita tetap masih belum mampu banyak berubah. Apakah teguran ini, kita hanya menganggapnya
sebagai sesuatu yang biasa dan secepatnya
akan berakhir? Kita seperti orang yang terbangun dari mimpi ngeri, lalu pada
esok paginya melupakan semua yang telah
terjadi. Inilah kita yang memiliki hati dan nurani untuk dapat menilai sesuatu
dari sudut pandang keimanan dan agama.
Ada
hal yang besar ketika Allah hendak menyampaikan pesan melalui balatentara-Nya. Covid
19 adalah makhluk Allah yang hidup di antara sekian banyak ciptaan-Nya. Setiap makhluk
yang diciptakan oleh-Nya di dunia ini hanyalah atas izin-Nya. Makhluk tidak
akan dapat memberi mudarat dan kecelakaan tanpa kehendak-Nya.
قُلْ أَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
مَا لَا يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا ۚ وَاللَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya:
Katakanlah: "Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah,
sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi
manfaat?" Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Surat
Alma’idah (5) Ayat 76)
Di
sini lagi-lagi kita diuji. Ataukah ujian yang sebenarnya belum dimulai? Lalu ada
apa di sebalik ujian yang datang tiba-tiba ini?
Setelah
peperangan senjata menelan jiwa banyak orang yang tidak berdosa. Kini manusia
dibuat terdiam sejenak untuk menafsirkan perang yang lain. Ya, sebagian orang
mungkin membantah ini untuk dianggap sebagai perang. Tapi itu tidak penting karena
di era internet dan telekomunikasi sekarang ini, banyak orang yang cerdas dalam
menafsirkannya dan berargumentasi.
Ujian
wabah ini, terlihat sangat besar mengancam jiwa manusia. Kita semua dibuat
peduli untuk bersatu melawannya, atau menghentikan penyebarannya. Tapi di sisi
lain kita melupakan banyak cerita pertumpahan darah tanpa perikemanusiaan yang terus
merajalela. Peperangan dan penindasan menjadi pemandangan yang biasa. Solidaritas
dan persatuan tidak banyak dipertanyakan saat itu. Tercermin, kecemasan terhadap
ancaman jiwa jika seseorang atau kelompok berbangsa harus mengangkat bendera
perang untuk menumpas kebatilan. Banyak pula di antara kita membutakan hati dan
menulikan telinga demi menjauhi perang. Menganggap itu bukan urusan dan tidak
mau peduli.
Di
sinilah kita sedang diajarkan oleh Allah. Lalu kita akan diuji lagi agar bisa
lulus dan menjadi orang yang dinaikkan derajatnya.
Wabah
korona yang berakibat buruk bagi kelangsungan kehidupan, akan tidak berarti
bila dibandingkan dengan keburukan yang ditimbulkan oleh kerusakan dalam
berbangsa dan beragama. Senjata perang para penjajah belum tentu dapat
menghancurkan kedaulatan sebuah Negara. Sekalipun bom atom Hirosima dan
Nagasaki. Dalam waktu yang tidak lama, Negara itu bangkit kembali menjadi negara
yang kuat dan berdaya. Tetapi lemahnya persatuan bangsa adalah petaka besar
yang meruntuhkan sebuah negara.
Kita
harus mengambil hikmah dari setiap cobaan terkait virus corona ini. Sementara ini
belum berakhir dan kita tidak tahu ujungnya, kita harus menyadari akan adanya
akibat yang ditimbulkan oleh virus ini yaitu perpecahan umat.
Bukan
baru ini kita bertelingkah dalam sesama kaum. Kita seperti hilang rasa malu
mempertontonkan keegoan kita atas sesama bangsa. Terlebih lagi seharusnya para
alim ulama dapat bersikap lebih tenang dalam mengatasi persoalan bangsa. Namun
keegoan telah menutup hati nurani. Lalu yang muncul adalah emosional. Merasa pantang
untuk diperkecilkan, dan merasa bangga jika diagungkan.
Katakanlah: “Dialah yang
berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu
atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan)
dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain. Perhatikanlah,
betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka
memahami(nya)”. (Q.S. Al An’am [6], 65)
Perlahan-lahan,
virus kesombongan dan keangkuhan justru lebih dhasyat membinasakan keimanan. Tidaklah
makhluk yang bernama kesombongan itu dapat terlihat walau melalui mikroskop
jenis apa pun. Tapi dia menggerogoti terus pundi-pundi agama. Bibit-bibit
perpecahan akan semakin membesar dan dapat menghancur para generasi mendatang. Rasa
solidaritas, jalinan persaudaraan akan terus rapuh dan menunggu kehancuran. Bagaimana
pula jika yang roboh nanti adalah keyakinan agama. Yang kita di dalamnya diajarkan kebaikan dan
kebenaran. Siapakah yang berdosa, jika anak-anak kita sekarang tidak diunjukkan
rasa saling menghormati dan menghargai? Mereka tentu akan semakin jauh tersesat
dan jauh dari agama. Lalu saat di alam baru di akhirat nanti, kita termasuk
orang yang sangat menyesal. Padahal semasa hidup kita tahu kerukunan itu sangat
penting, tetapi kita tidak melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar