Pesan dalam Puisi(Bagian 1)
Foto Ilustrasi : Asrizal Nur
Puisi itu memiliki pesan atau amanat. Pesan dapat bermakna harfiah (sebenarnya) atau yang bermakna tersirat. Makna tersirat, makna lain atau makna tersembunyi. Puisi yang di dalamnya penuh makna tersirat, terasa dan terdengar lebih kuat dan bahkan dapat membuka cakrawala berpikir yang luas.
Jika puisi itu adalah luahan perasaan, jawabannya, YES. Namun, tidak berhenti hanya meluahkan perasaan, mari kita mengubah pola dari meluahkan apa adanya menjadi ada apanya. Lalu menuangkannya dalam tulisan dan puisi.
Jika saya menulis puisi hanya tentang diriku, tentang emosi kemarahanku, atau tentang rasa bahagiaku, saya justru tidak akan bisa berharap agar orang lain sepenuhnya menyukai pikiran yang terdapat dalam tulisan puisi saya. Karena dalam banyak situasi, seseorang lebih menyukai pikirannya sendiri untuk ditonjolkannya.
Foto Ilustrasi : Asrizal Nur
Puisi itu untuk dinikmati oleh pembaca dan pendengarnya. Bukan untuk dinikmati sendiri. Lalu buatlah puisi itu untuk bisa dinikmati orang lain. Maksudnya, puisi tidak semata-mata luahan jiwa, namun di dalam puisi lebih banyak mengandung pesan yang ingin disampaikan.
Pesan itu, ruhnya puisi. Pesan dalam puisi juga sebagai nutrisi yang berfungsi memberi tenaga pada puisi. Sehingga pesan dalam puisi akan memberikan kekuatan yang membangun sebuah puisi. Sebaliknya puisi yang minim pesan akan terasa hambar di lidah, terdengar sumbang di telinga.
Foto Ilustrasi : Asrizal Nur
Pikirkanlah pesan sebuah puisi sebelum menulis. Atau boleh juga bersambil pada saat dimulainya menulis. Ketika kita memulai memunculkan ide dari apa yang kita lihat dan pikirkan, ketika itulah kita mulai mencari dan mendapatkan ide. Batu, pasir, kerikil, gunung, dan pohon itu semua dapat dijadikan sumber ide yang akan melahirkan pesan (amanat).
Apa sajakah pesan yang bisa disampaikan dalam puisi? Ada banyak sekali pesan atau amanat yang bisa disampaikan dalam puisi. Pesan atau amanat puisi bisa pesan kemanusiaan, pesan politik, pesan moral, dan sebagainya. Untuk membahas tentang penggolongan pesan/amanat puisi, akan menjadi sub topik pada pembahasan lain.
Foto Ilustrasi : Asrizal Nur
Setiap kata, diksi, atau kalimat yang dihasilkan dari pikiran kita, hendaklah kita olah berulang-ulang agar menghasilkan sebuah kata bermakna yang bukan kata itu sendiri. Masih adakah kata-kata(diksi) atau kalimat yang maknanya lebih dalam, maka pilihlah itu! Rasakan perbedaan maknanya, sambil tetap fokus pada tujuan mencari makna tersembunyi dari kata, diksi, atau kalimat tersebut.
Tidak perlu menjadi orang yang mahir hanya demi mengolah sebuah kata untuk menjadikannya lebih bermakna. Batu, pasir, kerikil, gunung, dan pohon misalnya bisa memiliki makna yang berbeda dari maksud awalnya. Batu, membatu bisa berarti kekerasan jiwa, kekuatan hati, kebekuan hati. Kerikil dapat pula berarti sandungan dalam kehidupan.
Foto Ilustrasi : Asrizal Nur
Asyik sekali jika kita dapat menemukan makna turunan dari sebuah kata. Tanpa bertujuan untuk mengatakan hal yang sebenarnya dari kata itu. Ingat dalam puisi yang kita tulis, kita mencoba untuk menggiring pikiran kita, mengungkapkan sesuatu yang berbeda dari maksud sebenarnya.
Begitu juga saat seseorang membaca puisi yang kita tulis. Ia akan memberikan apresiasi dan penilaian yang beragam sesuai yang dipahaminya. Semakin banyak pembaca dan pendengar memberikan apesiasi terhadap sebuah puisi karya kita, akan semakin baik pula kita memahami sisi kekurangan dan kelebihan kita.
Di sebalik semua itu, yang pasti puisi yang kita tulis itu, jika belum dapat memenuhi rasa pada setiap orang, sekurangnya telah membuat kita mencoba mengasah kemampuan. Setidaknya pula, kita telah memiliki koleksi pikiran kita sebagai penanda kita pernah berada di masa tertentu dan tercatat sebagai penulis atau pengarang.
Dalam mengungkapkan perasaan, kita dapat mengolah kata-kata lewat apa yang kita lihat di alam atau pun benda-benda mati. Misalnya lewat batu, pasir, kerikil, gunung, atau pohon.
Foto Ilustrasi : Asrizal Nur
Teruslah bicara tentang benda-benda mati tersebut. Misalnya pada kalimat "Membatu kerinduanku pada segara kasih-Mu, Diam membisu menatap derai yang melebur pantai-Mu." Baris kalimat ini bisa saja ditanggapi beragam oleh pembacanya. Tetapi barangkali pengarang ingin menyatakan kegundahan hatinya tanpa ingin menyebutkan secara polos bahwa ia sedang gundah atau bersedih.
Pengarang tidak menggunakan kata gundah dan sedih, namun kalimat puisi itu sudah menggambarkan kegundahan dan kesedihannya. Nah, yang demikian itulah yang dikenal sebagai makna tersembunyi yang akan menjadi pesan tersirat dalam puisi.
Bahasa Indonesia ini kaya akan kata dan makna. Jika kita menemukan kata yang lebih bermakna dari kata yang kita tulis semula, kenapa tidak kita ganti saja? Teruslah lakukan sampai kita meyakini tidak ada celah yang dapat meruntuhkan bangunan puisi kita.
Puisi yang sarat pesan, tidak hanya akan membuat pembaca atau pendengar terkagum-kagum. Mereka akan memberi apresiasi lewat ucapan dan komentar yang dapat menguatkan bagi penulis puisi. Hal ini tentu akan menjadi masukan berharga baginya. Sama ada masukan itu berbentuk kritikan atau saran, yang pasti hal itu akan sangat bermanfaat bagi kita dalam belajar mengukir kemampuan berpuisi.
Kini perpuisian Indonesia telah berevolusi dengan pembaruan-pembaruan. Sehingga muncul penyair-penyair baru dan tatanan baru yang lebih luwes dalam mengeksporasikan puisi.
Para penyair tampaknya tidak lagi harus terperangkap dengan gaya-gaya lama yang terkesan membosankan. Kita bisa belajar dari Bang Asnur? Saya merasakan kebaikan dan mendapat banyak pencerahan.
Di sini, kita tidak saja bisa menggali ilmu dari apa yang dilakukan oleh para pembelajar, tetapi kita dibimbing oleh ahlinya. Terutama sang Motivator, Bang Asrizal Nur yang ramah. Izinkan saya menyebut beliau sebagai sang Inspirator.
Saat kita menayangkan puisi hasil karya kita,atau mencoba unjuk kebolehan dengan berdeklamasikan puisi, kita akan sangat mengharapkan apresiasi dari banyak orang. Apresiasi yang memberikan nafas pada tulisan kita.
Apresiasi dari pembaca dan pendengar itu adalah wujud dari sebuah perhatian. Setiap orang pun memiliki kemampuan yang berbeda dalam memberikan apresiasi. Tergantung bagaimana mereka memahami atau memaknai isi puisi yang dibaca atau didengarnya.
Bukan masalah dengan apresiasi atau kritikan yang beragam. Pada akhirnya, semua bisa menjadi sangat berarti untuk perbaikan dan demi kemajuan kita. Jangan pesimis jika mendapat kritikan atau bahkan bila seandainya tidak ada yang mengomentari. Optimis saja, berpikiran positif saja. Katakan dalam diri bahwa aku menulis bukan untuk berharap pujian.
Setiap kata dalam puisi dipilih dari kata-kata yang mudah dicerna maknanya. Koherensi antara larik serta bait yang saling mengikat. Tidak mengambang atau terdengar berbunyi sumbang.
Begitulah seni dalam puisi. Kata-kata/ diksi dalam puisi memiliki makna yang bukan kata itu sendiri. Begitu pula yang dimaksudkan oleh Bang Asnur. Kita bisa mengasosiasikan kucing sebagai penguasa, tikus sebagai koruptor. Atau kemarau sebagai kesulitan dan mendung sebagai kedukaan. Jika satu langkah ini kita mampu memahaminya, sudah tentu kita akan dapat melangkah lebih baik lagi ke depannya.
Tetap semangat menimba ilmu selagi kesempatan masih terbuka.
Salam literasi.
Hamdani